الأخلاق الإسلامية
Muqadimah
Ketika Islam belum datang sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat manusia, bangsa Arab sangat dikenal dengan kejahiliyannya. Kejahiliyahan tersebut akan sangat terasa benar, manakala kita mencoba melihatnya dari sisi moralitas (baca; akhlak). Keburukan apakah yang dapat menandingi dengan moral seorang ayah, yang dengan tega dan rasa jijik, mengubur hidup-hidup anaknya sendiri. Kejelekan apa yang melebihi dari pada terjadinya perzinaan pada seorang istri, atas perintah sang suaminya sendiri? Namun ternyata hal tersebut dianggap merupakan sesuatu yang sangat wajar pada zamannya.
Di sinilah, Islam datang merubah kondisi yang sangat bejat, menjadi berputar ke arah yang posistif seratus delapan puluh derajat. Karena sesungguhnya Islam datang, memang membawa misi untuk merubah kondisi jahiliyah yang ada, menjadi kondisi Islami. Adapun moralitas, adalah merupakan implementasi dari kondisi mental seseorang atau masyarakat pada suatu waktu tertentu. Baik buruknya moral seseorang, atau moral suatu bangsa, sangat terkait dengan mental orang atau bangsa tersebut. Mengenai misi ini, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
(رواه أحمد والبزار)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (HR. Ahmad dan al-Bazar).
Sebagai seorang muslim, kitapun memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri kita. Dan dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan akhlak kita, akan terfokus pada hal-hal yang sangat urgen. Diantaranya adalah; akhlak terhadap Allah SWT, akhlak seorang muslim terhadap dirinya sendiri, akhlak terhadap orang tuanya, akhlak terhadap keluarga & kerabat, akhlak terhadap saudara seiman, dan akhlak terhadap tetangga & masyarakatnya.
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Allah SWT
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain. Diantara akhlak terhadap Allah SWT adalah:
1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya.
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا َيَجِدُوْا فيِ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا*
“Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seoran muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ (رواه ابن أبي عاصم الشيباني في السنة)
“Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan sunnah). (HR. Abi Ashim al-syaibani).
2. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Etika kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
عَنْ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه مسلم)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. (HR. Muslim)
3. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُسْلِمِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW bersabda, sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal erbaik bagi dirinya. (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.
4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 3 : 135) :
وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ، وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّ وْاعَلَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنً* أُوْلَئِكَ جَزَاءُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَنِعْمَ أَجْرُ اْلعَامِلِيْنَ*
Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui.
5. Obsesinya adalah keridhaan ilahi.
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akan memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللهُ مَؤُوْنَةَ النَّاسِ، وَمَنْ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ (رواه الترمذي والقضاعي وابن عساكر)
Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia. (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh oran lain.
6. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ*
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hukum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman hidup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.
7. Bannyak membaca al-Qur’an.
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman-Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْرَأُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya. (HR. Muslim)
Adapun bagi mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam membacanya, maka hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat membacanya dengan baik. Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka Allah pun akan memberikan pahala dua kali lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, Orang (mu’min) yang membaca Al-Qur’an dan ia lancar dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi suci. Adapun orang mu’min yang membaca Al-Qur’an, sedang ia terbata-bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat. (Mutafaqun Alaih)
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Dirinya Sendiri
Paling tidak, seorang muslim adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Siapapun dia, seorang muslim tentu akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah diperbuat terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa setiap muslim harus menunaikan etika dan akhlak yang baik terhadap dirinya sendiri, sebelum ia berakhlak yang baik terhadap orang lain. Dan ternyata hal ini sering dilalaikan oleh kebanyakan kaum muslimin.
Secara garis besar, akhlak seorang muslim terhadap dirinya dibagi menjadi tiga bagian; terhadap fisiknya, terhadap akalnya dan terhadap hatinya. Karena memang setiap insan memiliki tiga komponen tersebut, dan kita dituntut untuk memberikan hak kita terhadap diri kita sendiri dalam ketiga unsur yang terdapat dalam dirinya tersebut:
1. Terhadap Fisiknya
Setiap insan, Allah berikan anugerah berupa fisik yang sempurna. Kesempurnaan fisik manusia ini, Allah katakan sendiri dalam Al-Qur’an (QS. 95 : 4)
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kesempurnaan fisik ini, merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Karena Allah hanya memberikannya pada manusia. Adapun salah satu cara dalam mensyukurinya adalah dengan menunaikan hak yang harus diberikan pada fisik kita tersebut, yang sekaligus merefleksikan etika kita terhadap fisik kita sendiri. Diantara hal tersebut adalah:
1. Seimbang dalam mengkonsumsi makanan.
Hak yang harus kita penuhi terhadap fisik kita adalah dengan memberikan makanan dan minuman yang baik dan sehat, sehingga fisik kita pun dapat tumbuh dan bekerja dengan baik dan sehat pula. Seorang muslim sangat menyadari hal ini, dan oleh karenanya ia tidak akan menkonsumsi makanan yang akan memberikan madharat terhadap dirinya tersebut. Dan termasuk dalam kategori yang memberikan mudharat adalah mengkonsumsi makanan secara berlebihan. Islam sendiri telah memberikan larangan kepada para pemeluknya untuk berlebihan dalam menkonsumsi makanan. Allah berfirman (QS. 7 : 31)
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلاَ تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bahkan memberikan rincian batasan dalam masalah mengkonsumsi makanan. Beliau mengatakan:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ، فَإِذَا كَانَ لاَ مَحَالَةَ فَاعِلاً، فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ
(رواه أحمد والترمذي)
Janganlah seseorang itu mengisi perutnya sesuatu yang buruk baginya. Dan apabila tidak menyulitkan baginya hendaknya ia mengisi sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannnya dan sepertiga lagi untuk dirinya.
(HR. Ahmad & Turmudzi)
2. Membiasakan diri untuk berolah raga & hidup teratur.
Islam sangat menginginkan terciptanya kondisi yang baik dan teratur bagi para pemeluknya. Bekerja teratur, makan teratur, tidur teratur, belajar teratur dan juga berolah raga secara teratur. Sebagai contoh menyegerakan tidur dan juga menyegerakan bangun. Tidak tidur ba’da subuh, tidak tidur ba’da ashar dan lain sebagainya.
Di samping itu, Islam juga menganjurkan pada pemeluknya untuk menjaga fisik dengan membiasakan diri berolah raga. Agar diri seorang mu’min menjadi kuat dan sehat. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ (رواه مسلم)
Seorang mu’min yang kuat, lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu’min yang lemah. (HR. Muslim)
Jika fisik kaum muslimin kuat, tentulah hal ini akan dapat menggetarkan para musuh-musuh Islam, yang tiada henti-hentinya membuat makar terhadap agama Allah ini. Oleh karenanya kita melihat betapa Allah memerintahkan kita untuk mempersiapkan kekuatan kita. Dan olah raga merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan kekuatan tersebut. Allah berfirman (QS. 8 : 60)
وَأَعِدُوْا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لاَ تَعْلَمُهُمْ اللهُ يَعْلَمُهُمْ
Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dapat menggentarkan musuh Allah , musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.
3. Tidak melakukan hal-hal yang memberikan madharat bagi fisik dan kesehatannya.
Terkadang manusia senang untuk melakukan hal-hal tertentu yang terlihat menyenangkan dan mengenakkan meskipun hal tersebut akan menimbulkan madharat terhadap dirinya sendiri. Diantara tersebut antara lain, berlebihan dalam menkonsumsi kopi atau teh, tidur terlalu larut malam dan merokok. Hal yang terakhir disebut (yaitu rokok) bahkan sudah seperti menjadi “kebiasaan wajib” bagi orang tertentu. Sementara jika dilihat dari aspek syar’inya, rokok merupakan sesuatu yang melanggar syar’i dan hukumnya haram, kecuali menurut sebagian ulama di Indonesia yang cenderung berfatwa bahwa hukumnya adalah makruh. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagaian besar ulama di Indonesia masih belum mampu meninggalkan kebiasaan rokoknya.
Terdapat beberapa tinjauan dalam menegaskan bahwa rokok secara hukum adalah haram. Diantaranya adalah :
a. Merokok merusak kesehatan (Yadhurru Linafsih)
Semua orang sepakat, bahwa rokok akan memiliki dampak negatif terhadap fisik manusia. Terlebih-lebih jika ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau kedokteran, rokok memiliki dampak yang begitu besar dalam diri insan yang akan menyebabkan berbagai penyakit. Perokok sendiri akan mengakui hal tersebut. Dan jika demikian, seseorang ketika ia merokok berarti ia memberikan kemadharatan atau merusak bagi dirinya sendiri. Sementara Allah SWT berfirman (QS. 4 : 29)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b. Merokok mendzolimi orang lain (Dzalim)
Selain merusak atau merugikan terhadap diri sendiri, rokok juga dapat merugikan atau mendzalimi orang lain yang tidak merokok. Sebab asap rokok yang dihisap perokok tentu akan dikeluarkan lagi. Dan asap inilah yang memiliki potensi untuk dihisap secara langsung melalui nafas orang lain (baca; perokok pasif) yang berada di sekitarnya, yang bisa jadi akan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Jika hal ini terjadi, berarti perokok ‘mendzlimi’ orang lain yang tidak merokok. Dan Allah sangat membenci orang-orang yang dzalim. Allah SWT berfirman (QS. 42 : 40)
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim."
c. Merokok memiliki unsur menghambur-hamburkan harta (Tabdzir)
Selain dua tinjauan di atas, rokok juga mengandung unsur menghambur-hamburkan uang (baca’ tabdzir). Hampir semua kalangan sepakat, bahwa rokok merupakan salah satu bentuk perbuatan yang mubadzir, karena banyak hal yang lebih bermanfaat dari pada digunakan untuk rokok, seperti membantu fakir miskin, shadaqoh kepada kerabat, atau digunakan untuk membeli makanan yang menambah kesehatan, seperti susu, buah-buahan dan lain sebagainya. Dan jika merokok merupakan salah satu perbuatan tabdzir, maka alangkah kerasnya Allah SWT menegur orang-orang yang menghambur-hamburkan uang. Allah berfirman (QS. 17 : 27 ) :
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا* إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا*
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
4. Bersih fisik dan pakaian.
Etika seorang muslim terhadap dirinya yang berikutnya adalah membersihkan fisik dan juga pakaiannya. Karena fisik kita memiliki hak untuk dibersihkan dan memakai pakaian yang bersih. Dalam masalah bersih fisik, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Bersih mulut dan gigi.
Islam sangat menganjurkan kebersihan gigi dan mulut. Karena kedua hal ini merupakan hal yang akan sangat berkaitan dengan orang lain. Ketika gigi dan mulut kita tidak bersih bahkan bau, maka pasti akan memiliki pengaruh negatif terhadap orang yang menjadi lawan bicaranya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الشيخان)
“Sekiranya tidak memberatkan bagi umatku, sungguh akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari Muslim).
Bahkan dalam hadits lain, Rasulullah SAW menerangkan mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari ketidak bersihan mulut dan gigi. Beliau mengatakan:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثَّوْمَ وَالْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرِبَنَّ مَسْجِدَنَا هَذَا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّي مِمَّا يَتَأَذَّي مِنْهُ بَنُو آدَمَ (رواه مسلم)
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan yang sebangsa bawang, maka hendaknya mereka jangan mendekati masjid kami ini. Karena sesungguhnya para malaikat ‘terganggu’ dengan baunya tersebut, sebagaimana terganggunya anak cucu adam.” (HR. Muslim)
b) Bersih rambut.
Selain mulut dan gigi, Islam juga menganjurkan kita agar senantiasa membersihkan rambut. Karena rambut juga memiliki hak untuk dibersihkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang memiliki rambut, maka hendaklah ia memuliakan rambutnya tersebut.” (HR. Abu Daud)
Adapun cara untuk memuliakan rambut, diantaranya adalah dengan senantiasa membersihkannya, menyisirnya yang rapi serta merawatnya. Dalam sebuah riwayat Imam Malik, Rasulullah SAW suatu ketika sedang berada dalam masjid. Kamudian tiba-tiba masuklah seorang pemuda yang rambut dan jenggotnya acak-acakan. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkannya dengan isyarat agar ia membersihkan rambut dan jenggotnya tersebut. Pemuda itupun kembali pulang, lalu kembali ke masjid dalam keadaan rambut dan jenggotnya yang telah tersisir rapi. Melihat hal tersebut Rasulullah SAW mengatakan, ‘bukankah yang demikian lebih baik, dari pada seseorang datang ke masjid dalam kondisi rambut dan jenggotnya acak-acakan, seperti syaitan?’
c) Bersih badan.
Hal ini terbukti dengan diperintahkannya kita untuk senantiasa membersihkan diri kita dengan mandi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berasbda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اغْتَسِلُوْا يَوْمَ الْجُمْعَةِ، وَاغْسِلُوْا رُؤُوْسَكُمْ وَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا جُنُبًا وَأَصِيْبُوْا مِنَ الطَّيِّبِ (رواه البخاري)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Mandilah kalian pada hari jum’at. Bersihkanlah kepala kalian, meskipun tidak sedang junub. Dan sentuhlah dengan wewangian. (HR. Bukhari)
d) Bersih pakaian.
Jasad atau fisik kita, juga memiliki hak untuk mendapatkan pakaian yang bersih dan sehat. Pakaian disamping untuk menutupi aurat, namun juga menjaga dirinya dari penyakit-penyakit yang terkait dengan pakaian, seperti gatal-gatal, jamur dan lain sebagainya.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ أَتَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرًا فَرَأَى رَجُلاً عَلَيْهِ ثِيَابُ وَسْخَةٍ، فَقَالَ مَا كَانَ يَجِدُ هَذَا مَا يَغْسِلُ ثَوْبَهُ؟ (رواه أحمد والنسائى)
Dari Jabir ra, beliau berkata, suatu ketika rasulullah SAW berziarah mengunjungi kami. Lalu beliau melihat seseorang yang memakai pakaian yang kotor. Beliau berkata, ‘Tidakkah ada yang dapat menyucikan bajunya?’ (HR. Ahmad dan Nasa’I)
e) Berpenampilan rapi
Berpenampilan rapi juga merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW. Sehingga seseorang akan terlihat terhormat di mata orang lain. Dalam sebuah riwayat dikisahkan ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya sedang berpergian mendatangi saudara mereka, Rasulullah SAW mengatakan:
إِنَّكُمْ قَادِمُوْنَ عَلَى إِخْوَانِكُمْ، فَأَصْلِحُوْا رِحَالَكُمْ وَأَحْسِنُوْا لِبَاسَكُمْ (رواه أبو داود)
Kalian akan tiba mendatangi saudara kalian. Oleh karena itu, rapikanlah bawaan kalian dan rapikanlah pula pakaian kalian. (HR. Abu Daud)
Berpenampilan rapi seperti ini juga merupakan sunnah para sahabat. Bahkan terkadang ada diantara mereka yang membeli pakaian yang relatif mahal, untuk kemudian digunakannya. Seperti Ibnu Abbas pernah membeli pakaian seharga seribu dirham, lalu beliau mengenakannya. (Hilyatul Aulia’ I/ 321). Demikian juga dengan Abdurrahman bin Auf, yang pernah memakai burdah seharga lima ratus atau empat ratus (Thabaqat Ibnu Sa’d III/131). Dan berpenampilan rapi serta mengenakan paiakan yang baik, sesungguhnya tidak identik dengan kesombongan. Karena kesombongan adalah mengingkari kebenaran dan meremehkan manusia.
2. Terhadap Akalnya.
Sebagaimana fisik, akal memiliki hak yang harus kita tunaikan. Akal juga membutuhkan ‘makanan’, sebagaimana fisik membutuhkannya. Namun kebutuhan tersebut jelas berbeda dengan kebutuhan fisik. Oleh karenanya, kita perlu memberikan porsi kepada kita, sebagaimana kita memberikannya pada fisik. Berikut adalah diantara hal-hal yang harus kita tunaikan terhadap akal kita:
1. Menuntut ilmu sebagai kewajiban dan kemuliaan bagi setiap muslim
Hal pertama yang harus kita lakukan bagi setiap muslim terhadap akalnya adalah dengan mengisinya dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Karena disamping sebagai suatu kewajiban, belajar juga merupakan kemuliaan tersendiri bagi dirinya. Karena Allah SWT senantiasa akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 35 : 28) :
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Bahwasanya orang-orang yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama (orang yang berilmu)”
Kemuliaan ini juga telah terwujud, meskipun ketika ia baru dalam proses belajar guna menuntut ilmu sendiri. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
جَاءَ صَفْوْانٌ بْنُ عَسَّالٍ الْمَرَادِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ لَهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّيْ جِئْتُ أَطْلُبُ الْعِلْمَ، فَقَالَ "مَرْحَبًا بِطَالِبِ الْعِلْمِ، إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ تَحُفُّهُ الْمَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغَ السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ مَحَبَّتِهِمْ لِمَا يَطْلُبُ (رواه أحمد والطبراني وابن حبان والحاكم)
“Suatu ketika Safwan bin Assal al-Maradi mendatangi Rasulullah SAW yang sedang berada di masjid. Safwan berkata, Ya Rasulullah SAW, aku datang untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW menjawab, ‘selamat datang penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang menuntut ilmu akan dikelilingi oleh para malaikat dengan sayap-sayapnya. Kemudian mereka berbaris, sebagian berada di atas sebagian malaikat lainnya, hingga sampai ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap penuntut ilmu.” (HR. Ahmad, Tabrani, Ibnu Hiban dan Al-Hakim)
2. Menuntut ilmu hingga akhir hayat.
Terkadang manusia sering puas, manakala telah mencapai tingkatan tertentu dalam dunia pendidikan. Padahal sesungguhnya dalam Islam bahwa proses belajar mengajar merupakan proses yang tiada mengenal kata henti. Karena pada hakekatnya semakin seseorang mendalami ilmu pengetahuan, maka semakin pula ia merasa kurang dan kurang. Salah seorang salafuna shaleh bernama ibnu Abi Gassan – sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Abdil Bar – berkata :
لاَ تَزَالُ عَالِمًا مَا كُنْتَ مُتَعَلِّمًا، فَإِذَا اسْتَغْنَيْتَ كُنْتَ جَاهِلاً
Engkau akan tetap menjadi orang yang berilmu, manakala senantiasa masih mencari ilmu. Namun apabila engkau telah merasa cukup, maka jadilah dirimu orang yang bodoh.”
3. Yang harus dipelajari oleh setiap muslim.
Minimal sekali, setiap muslim perlu mempelajari hal-hal yang memang sangat urgen dalam kehidupannya. Menurut Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi (1993 : 48), hal-hal yang harus dikuasai setiap muslim (yang bukan spesialisasi syari’ah) adalah : Al-Qur’an, baik dari segi bacaan, tajwid dan tafsirnya; kemudian ilmu hadits; sirah dan sejarah para sahabat; fikih terutama yang terkait dengan permasalahan kehidupan, dan lain sebagainya.
4. Spesialisasi.
Namun demikian, setiap muslim juga harus memiliki bidang spesialisasi yang harus ditekuninya. Spesialisasi ini tidak harus bersifat ilmu syariah, namun bisa juga dalam bidang-bidang lain, seperti ekonomi, tehnik, politik dan lain sebagainya. Dalam sejarahnya, banyak diantara generasi awal kaum muslimin yang memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu.
5. Mempelajari bahasa asing
Mempelajari bahasa asing juga merupakan suatu kebutuhan yang penting. Apalagi manakala bahsa tersebut merupakan bahasa resmi dalam ilmu pengetahuan seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab, untuk bidang keislaman. Dalam sebuah riwayat dikisahkan:
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ، يَا زَيْدٌ تَعَلَّمْ لِي كِتَابَ يَهُوْدَ، فَإِنِّيْ وَاللهِ مَا آمَنُ يَهُوْدِى عَلَى كِتَابِي، فَقاَلَ زَيْدٌ فَتَعَلَّمْتُهُ فَمَا مَضَى لِيْ نِصْفَ شَهْرٍ حَتَّى حَذَقْتُهُ، فَكُنْتُ أَكْتُبُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَتَبَ إِلَيْهِمْ، وَأَقْرَأُ كِتَبَهُمْ إِذَا كَتَبُوْا إِلَيْهِ (رواه الترمذي)
Dari Zaid bin Tsabit ra, bahwa Rasulullah SAW berkata padanya, ‘Wahai Zaid, pelajarilah untukku tulisan Yahudi. Karena sesungguhnya aku demi Allah tidak yakin tulisanku pada orang yahudi.’ Zaid mengatakan, lalu aku mempelajarinya. Dan belum genap setengah bulan berlalu, aku telah dapat menguasai bahasa Yahudi. Aku senantiasa menulis surat Rasulullah SAW, ketika beliau ingin menujukannya pada mereka. Akupun membacakan surat mereka pada Rasulullah SAW. (HR. Turmudzi)
3. Terhadap Hatinya/ Ruhiyahnya.
Hati juga merupakan unsur penting dalam diri setiap insan, yang memiliki hak yang sama sebagaimana akal dan fisik. Hati membutuhkan makanan sebagaimana akal dan fisik membutuhkannya. Oleh karena itulan, setiap muslim dituntut untuk memberikan porsi yang sama terhadap ruhiyahnya sebagaimana ia telah memberikan pada fisik dan akalnya. Berikut adalah beberapa hal yang patut direalisasikan seorang muslim terhadap ruhiyahnya.
1. Mengisi ruhiyahnya dengan ibadah.
Ibadah merupakan makanan pokok bagi hati dan ruhiyah kita. Bahkan makanan ruhiyah ini tidak memiliki batasan kuantitas. Semakin banyak ibadah seseorang, semakin ia rindu untuk melaksanakan ibadah lainnya. Semakin ia dekat dengan Allah, semakin ia ingin lebih dekat dan dekat lagi. Berbeda dengan makanan fisik, dimana paling banyak seseorang dapat memakan dua sampai tiga piring untuk sekali makannya. Makanan ruhiyah ini akan dapat membersihkan hati dan menentramkan jiwa. Seseorang yang memiliki kualitas ibadah yang baik, ia akan senantiasa merasa tenang, sejuk dan damai. Ibadah-ibadah yang harus dilakukannya, selain yang wajib adalah yang sunnah. Diantaranya adalah, memperbanyak membaca dan mentadaburi Al-Qur’an, shalat lail, shadaqah, mendatangi majlis-majlis ilmu, tafakur alam dan lain sebagainya.
2. Mengikatkan diri dengan tempat-tempat dan teman yang menambah keimanan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah mengatakan, bahwa kadar keislaman seseorang itu, seperti kadar keislaman teman akrabnya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan siapa yang akan dijadikan temannya.” (HR. Turmudzi & Abu Daud). Karena teman dan lingkungan memiliki pengaruh yang tidak sedikit terhadap kadar keimanan seseorang. Orang yang bergaul dengan teman-temannya yang shaleh, maka sedikit banyak akan mempengaruhi dirinya untuk menjadi orang shaleh. Demikian juga sebaliknya, jika ia berteman dengan mereka-mereka yang suka mabok-mabokan, judi dan lain sebagainya, maka sedikit banyak ia akan terpengaruh dan akan terbawa pada kebiasaan teman-temannya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 18 : 28) :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ، وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan menharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
3. Memperbanyak dzikir kepada Allah SWT.
Dzikir merupakan penguat ruhiyah seorang muslim yang sangat efektif. Dzikir juga secara langsung dapat menentramkan jiwa pembacanya. Bahkan dengan dzikir inilah, yang membedakan apakah hati seseorang itu hidup atau mati. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ (رواه البخاري)
Dari Abu Musa ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berdzikir adalah seumpama orang yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Oleh karenanyalah, setiap muslim seyogyanya senantiasa membiasakan diri dengan dzikir kapanpun dan dimanapun mereka berada. Minimal sekali, dzikir-dzikir pengiring aktivitas tertentu, seperti dzikir hendak makan, sesudah makan, mau tidur, ke kamar mandi dan lain sebagainya. Dzikir akan lebih baik lagi manakala kita membiasakan membaca dzikir-dzikir pagi dan petang, sebagaimana yang sering dibaca oleh Rasulullah SAW.
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Orang tuanya
Orang tua merupakan orang yang paling dekat dan paling prioritas kita perlakukan secara baik di dunia ini. Apalagi jika kita ingin mencoba untuk mengupas satu persatu kebaikan mereka, tentulah kita akan sulit untuk membalasnya. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, hendaknya kita balas dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka. Jangan sampai sebagai seorang anak, kita durhaka kepada mereka. Apalagi jika kita mengingat bahwa durhaka kepada orang tua merupakan dosa kedua terbesar dalam Islam.
Berikut adalah berapa moralitas seorang muslim yang harus dipenuhi dalam berinteraksi terhadap kedua orangtuanya:
1. Berbuat baik terhadap kedua orang tua.
Diantara sifat utama seorang muslim adalah berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Karena berbakti terhadap orang tua merupakan salah satu sifat yang paling diperhatikan oleh Islam. Hal ini terbukti bahwa Islam menjadikan durhaka kepada kedua orang tua sebagai dosa terbesar setelah menyekututkan Allah. Oleh karena itulah, setiap muslim mendapatkan perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: (QS. 4 : 36)
وَاعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklak kepada dua orang ibu bapak..”
2. Mengetahui ‘keutamaan’ mereka berdua, serta apa yang wajib dilakukan terhadap mereka berdua. Karena sesungguhnya Islam mengangkat derajat kedua orang tua pada tingkatan yang sangat tinggi dalam sejarah kehidupan manusia. Dimana Allah menjadikan berbuat baik terhadap mereka berdua sebagai derajat tertinggi dalam beribadah, setelah ibadah kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 17 : 23)
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا، إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لهَمُاَ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْ هُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا* وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا*
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di atantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan pada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak merreka dan ucapkanlakh kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan pneuh kesangayanga dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana merreka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Ayat di atas sangat jelas memberikan batasan kepada kita, bagaimana seharusnya berinteraksi dengan kedua orang tua. Terutama pada saat-saat mereka telah memasuki usia lanjut, yang terkadang segala tindakan mereka menyebabkan munculnya kejengkelan terhadap mereka. Namun Islam dengan tegas memberikan perintah untuk tetap harus berbuat baik terhadap mereka berdua. Bahkan Islam melarang, walaupun untuk sekedar mengatakan “ah”, kepada meraka berdua. Islam memerintahkan untuk menggunakan tutur kata yang baik dan sopan kepada keduanya, apapun kondisinya.
3. Berbuat baik terhadap orang tua, meskipun mereka bukan muslim.
Bahkan sekiranya kita memiliki orang tua yang bukan muslim sekalipun, kita tetap harus menunaikan kewajiban kita terhadap mereka berdua. Tetap harus berbuat baik kepada mereka, harus bertutur kata yang sopan santun dan penuh kelembutan dan juga harus tetap taat kepada mereka berdua, selagi tidak dalam perbuatan melanggar perintah Allah SWT. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدَمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (رواه البخاري)
Dari Asma’ binti Abu Bakar ra, beliau berkata, ‘Ibuku datang kepadaku, dan dia masih seorang yang musyrik pada zaman Rasulullah SAW. Lalu aku bertanya pada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW, ibuku datang kepada mengharapkan sesuatu dari ku, apakah aku harus berbuat baik kepadanya, sedangkan ia masih musyrik? Rasulullah SAW menjawab, ya, berbuat baiklah kepadanya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Beginilah Islam memperlakukan orang tua, meskipun orang tua kita berada dalam agama lain yang bukan Islam. Namun Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepadanya. Meskipun demikian, Islam tetap memiliki rambu-rambu dalam berbuat baik kepada orang tua yang tidak muslim. Dalam Al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 31 : 15)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengkuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.”
4. Tidak durhaka kepada kedua orang tuanya.
Selain memerintahkan untuk berbuat baik terhadap keduanya, Islam juga melarang kita untuk berbuat durhaka kepada orang tua. Karena durhaka terhadap orang tua merupakan dosa terbesar dalam Islam, setelah menyekutukan Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
عَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ ثَلاَثًا. قُلْنَا : بَلَى يَا رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ : الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ" (متفق عليه)
Dari Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Maukah kalian aku beritahu tentang dosa yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu wahai Rasulullah SAW.” Beliau berkata, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (Mutafaqun Alaih)
5. Mendahulukan ibu, kemudian ayah.
Bagaimanapun juga, seorang ibu lebih memiliki peran yang besar dalam diri kita. Ibu kitalah yang telah mengandung kita selama sembilan bulan, melahirkan kita dengan susah payah, membesarkan, merawat dan mendidik kita hingga dewasa seperti saat ini. Meskipun dalam hal tersebut peran bapak juga besar, namun tidak sedominan peranan ibu. Oleh karena itulah, Islam menjadikan berbakti kepada ibu, lebih prioritas dibandingkan dengan berbakti kepada bapak. Dalam sebuah riwayat dikemukakan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ" (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa seseorang datang kepada rasulullah SAW, lalu bertanya, wahai rasulullah, siapakan orang yang paling berhak aku berbuat baik kepadanya? Rasulullah menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian siapa wahai rasulullah ? Beliau menjawab ibumu. Kemudian ia bertanya lagi, lalu siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, ibumu. Lalu ia bertanya lagi, kemudian siapa wahai rasulullah? Beliau menjawab, bapakmu. (Mutafaqun Alaih)
6. Berbuat baik terhadap orang yang dicintai orang tua.
Sekiranya pun orang tua kita telah tiada, kita masih memiliki kewajiban sekaligus menunjukkan etika kita kepada kedua orang tua kita, yaitu dengan menyambung tali persaudaraan dengan orang-orang yang dicintai orang tua kita, apakah famili, kerabat, teman dan lain sebagainya. Dalam sebuah riwayat digambarkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبَرُّ الْبِرَّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ (رواه مسلم)
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik perbuatan baik terhadap orang tua adalah mernyambung persaudaraan terhadap orang-orang yang cintai orang tuanya.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, digambarkan :
سَأَلَ رَجَلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ بَعْدَ مَوْتِهِمَا أَبَرُّهُمَا؟ قَالَ نَعَمْ، خِصَالٌ أَرْبَعٌ: الدُّعَاءُ لَهُمَا وَاْلإِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْقَاذُ عَهْدِهِمَا، وَإِكْرَامِ صَدِيْقِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ رَحِمَ لَكَ إِلاَّ مِنْ قِبَلِهِمَا (أخرجه البخاري في الأدب المغرد)
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, apakah masih tersisa kewajibanku untuk berbuat baik kepada kedua orangtuaku, apakah aku masih harus berbakti kepada keduanya? Rasulullah SAW menjawab, Ya. Ada empat hal yang harus dilakukan: Mendoakan dan memohon ampunkan bagi keduanya, merealisasikan janji/ keinginan mereka berdua, memuliakan teman-teman mereka berdua dan menyambung tali persaudaraan yang engkau tidak memiliki hubungan lagi dengan mereka kecuali melalui kedua orang tuamu. (HR. Bukhari dalam Adab Mufrad)
7. Diantara cara berbuat baik terhadap orang tua.
Pada dasarnya, dalam kondisi apapun juga, kita diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah SAW untuk selalu berbuat baik kepada orang tua dan menghormatinya dengan penghormatan yang mulia. Berikut merupakan beberapa hal yang posisitf yang seyogyanya dilakukan seorang muslim:
a) Berdiri untuk menyambutnya, menakala mereka tiba di tempat kita berada.
b) Mencium tangan kedua orang tua, ketika akan pergi atau tiba dari orang tua.
c) Mengecilkan volume suara kita dihadapan orang tua kita, sebagai penghormatan terhadapnya.
d) Senantiasa berusaha menyenangkan hati keduanya.
e) Menggunakan cara dan bahasa yang lembut ketika berbicara pada keduanya.
f) Tidak menampakkan sikap negatif dari diri kita, manakala kita mendapatkan hal yang kurang menyenangkan yang berasal dari orang tua kita.
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Kerabat Keluarganya
Sebagai seorang muslim, kita juga memiliki etika sekaligus kewajiban terhadap kerabat keluarga kita, dengan berbuat ihsan terhadap mereka. Karena berbuat baik, dalam Islam tidak hanya ditujukan kepada orang tua saja. Namun lebih jauh dari itu, terhadap seluruh kerabat keluarga kita secara keseluruhan.
Kerabat keluarga adalah mereka-mereka yang jika ditinjau dari segi nasab keturunan, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan kita. Baik yang satu ahli waris, atau pun yang diluar ahli waris. Dan ternyata Islam memiliki perhatian yang cukup besar dalam masalah hubungan seseorang dengan kerabat keluarganya. Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 4 : 36)
وَاعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَاِلدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَاْلمَسَاكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبىَ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ*
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepad dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga0banggakan diri.
Dalam ayat di atas, Allah menjadikan urutan berbuat baik kepada kerabat, setelah keharusan berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal ini menunjukkan betapa berbuat baik dan menyambung tali persaudaraan terhadap kerabat merupakan hal yang sangat penting. Dalam hadits Rasulullah SAW mengatakan:
عَنْ أَبِي أَيُّوْبِ اْلأَنْصَارِي أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْبُدُوْا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ وَتَصِلَ الرَّحِمَ (متفق عليه)
Dari Abu Ayub al-Anshari ra, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, wahai Rasulullah, beritahukan padaku akan amalan yang dapat memasukkan ku ke dalam surga. Rasulullah SAW menjawab, ‘Menyembah Allah dan menyekutukannya pada apapun juga, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menyambung tali persaudaraan. (Mutafaqun Alaih)
Oleh karena itulah, seorang muslim juga harus memiliki akhlak yang baik terhadap kerabat keluarganya, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Diantara akhak terhadap kerabat keluarga adalah :
1. Larangan untuk memutuskan tali persaudaraan.
Di samping memerintahkan untuk menyambung persaudaraan terhadap kerabat keluarga, Islam juga secara tegas memberikan larangan untuk memutuskan tali persaudaraan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan persaudaraan.’ (Muttafaqun Alaih)
2. Seorang muslim menyambung tali persaudaraan berdasarkan petunjuk Islam.
Karena seorang muslim yang baik, ia akan senantiasa menyambung tali persaudaraan terhadap siapapun, apalagi terhadap mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan. Namun dalam menyambung tali persaudaraan tersebut, haruslah dengan memberikan skala prioritas dalam berbuat baik kepada mereka. Pertama-tama harus dimulai dari yang terdekat, kemudian yang dekat. Dalam hal ini dimulai dari ibu, bapak, baru kerabat terdekat lainnya.
Disamping itu menyambung tali persaudaraan kepada mereka, dengan tujuan meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah SWT. Sehingga manakala kita melihat adanya faktor yang justru ‘membahayakan’ keimanan kita, maka kita perlu memberikan batasan dalam menyambung tali persaudaraan tersebut.
3. Menyambung tali persaudaraan, meskipun terhadap kerabat yang bukan muslim.
Karena pada hakekatnya mereka secara nasab, masih memiliki hubungan dengan kita. Oleh karena itulah, kita diperintahkan untuk senantiasa berbuat baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِهَارًا غَيْرَ سِرٍّ يَقُوْلُ "إِنَّ آل أَبِي فُلاَنٍ لَيْسُوْا بِأَوْلِيَائِي، إِنَّمَا وَلِيِّي اللهُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلَكِنْ لَهُمْ رَحِمٌ أَبُلُّهَا بِبِلاَلِهَا (متفق عليه)
Dari Abdillah bin Amru bin Ash ra, aku mendengar Rasulullah SAW dengan suara keras, tidak dengan suara pelan bersabda: “Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukanlah termasuk ‘penolongku’. Karena penplongku hanyalah Allah dan kaum muslimin yang shaleh. Namun terhadap mereka aku memiliki kekerabatan yang aku menyambung tali persaudaraan dengan berbuat baik yang layak terhadap mereka. (Mutafaqun Alaih)
4. Memahami hakekat silaturahim dengan makna yang lebih luas
Dalam artian bahwa menyambung silaturahim dengan seluruh kerabat keluarga kita, tidak hanya dalam skup materi saja, namun juga harus dalam hal-hal yang lebih luas dari sekedar materi, seperti dengan silaturahim mengunjungi rumahnya, mempererat hubungan dengan memperdalam rasa cinta, saling memberikan nasehat, ungkapan-ungkapan yang baik, dan dalam hal-hal positif lainnya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : بُلُّوْا أَرْحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ (رواه البزار)
Dari ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda “Berbuat baiklah terhadap kerabat kalian, walaupun sekedar mengucapkan salam.” (HR. Al-Bazar)
5. Menyambung tali persaudaraan, sekalipun terhadap kerabat yang tidak mau menyambungnya.
Sebagai manusia biasa, terkadang terhadap kerabat keluarga sekalipun dapat terjadi perselisihan yang mengakibatkan retaknya hubungan. Bahkan tidak jarang, sikap satu pihak terhadap pihak yang lainnya cenderung untuk tidak menegur, tidak menyapa dan tidak mau menyambung lagi tali persaudaraannya. Namun sebagai agama yang penuh dengan nilai-nilai rahmat, Islam melarang seseorang untuk berbuat seperti itu. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا (رواه البخاري)
Rasulullah SAW besabda, Bukanlah orang yang (dinamakan) menyambung persaudaraan dengan berupa balasan (menyambung jika kerabat kita menyambungnya). Namun orang yang menyambung persaudaraan adalah yang senantiasa menyambungnya meskipun mereka memutuskan persaudaraannya. (HR. Bukhari)
Akhlak Seorang Muslim Terhadap Tetangga & Masyarakatnya.
Tetangga dan masyarakat sekitar tempat kita tinggal merupakan kumpulan dari manusia-manusia yang terdekat dengan kehidupan kita. Keberadaan mereka merupakan sesuatu yang sangat penting, apalagi manakala kita mencoba merenungkan bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama sosial. Karena Islam sangat memperhatikan masalah sosial, serta menjadikan kehidupan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran-ajarannya. Oleh karena itulah, kita akan banyak menemukan, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah, ajaran-ajaran yang sangat bersinggungan dengan masalah sosial. Berikut adalah beberapa etika seorang muslim terhadap masyarakat dan tetangganya, diantaranya adalah:
1. Memuliakan tetangganya.
Islam bahkan menjadikan ‘memulian’ tetangga sebagai salah satu syarat untuk dapat mewjujudkan ‘kesempurnaan iman’. Karena orang muslim yang memiliki kesempurnaan iman, segala perbuatannya akan mengimplementasikan nilai-nilai keimanan dalam dirinya, termasuk diantaranya adalah memuliakan tetangganya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya, barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia bertutur kata yang baik atau hendaknya ia diam. (Mutafaqun Alaih)
2. Pemaaf dan pemurah terhadap tetangga.
Tetangga kita adalah juga merupakan manusia biasa biasa yang terkadang berbuat kesalahan terhadap kita. Namun sebagai seorang muslim yang baik yang memahami hal ini, akan memiliki rasa pemaaf dan pemurah terhadap mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشْبَةً فِيْ جِدَارِهِ (متفق عليه)
Rasulullah SAW bersabda, hendaklah seseorang jangan melarang tetangganya ketika menancapkan sepotong kayu pada dinding (rumahnya) (Mutafaqun Alaih)
3. Mencintai mereka sebagaimana mencintai diri kita sendiri.
Bahkan hal ini sudah menjadi sesuatu yang harus dilakukan terhadap siapapun yang masih memiliki ikatan akidah yang sama. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (متفق عليه)
Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga ia mencintai saudaranya sendiri sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (Mutafaqun Alaih)
Dan salah satu bentuk kecintaan kita kepada mereka adalah dengan memiliki kepedulian terhadap sesuatu yang menimpa mereka. Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ (رواه الطبراني)
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak beriman seseorang kepadaku, siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangga yang berada di sisinya kelaparan dan ia mengetahui hal tersebut. (HR. Tabrani)
4. Berbuat baik kepada tetangga, baik yang muslim atau yang non muslim.
Kendatipun tetangga kita ada yang bukan muslim, namun kita masih memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepada mereka. Dalam sebuah riwayat digambarkan, bahwa Abdullah bin Amru bin Ash suatu ketika menyembelih seokor kambing, lalu memberikannya pada tetangganya yang Yahudi. Ketika ditanya, beliau menjawab aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Bahwa Jibril senantiasa memberikan wasiat kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku mengiranya bahwa beliau akan memberikan warisan kepada tetangganya.” (HR. Bukhari Muslim)
5. Memprioritaskan perbuatan ihsan, terhadap yang terdekat kemudian yang dekat.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah ra ketika bertanya kepada Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ لِيْ جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِى؟ قَالَ إِلَى أَقْرَبُهُمَا مِنْكِ بَابَا" (رواه البخاري)
Dari Aisyah ra, beliau bertanya kepada rasulullah SAW, ‘Wahai rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada yang manakah aku mengirimkan hadiah? Rasulullah menjawab, kepada yang paling dekat pintunya dari umahmu. (HR. Bukhari)
6. Muslim terbaik adalah yang terbaik bagi tetangganya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengatakan :
خَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ (رواه البخاري في الأدب المفرد)
Sebaik-baik tetangga di sisi Allah, adalah sebaik-baik mereka bagi tetangganya. (HR. Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad)
7. Tetangga yang buruk.
Islam bahkan melarang seseorang untuk menjadi tetangga yang tidak baik bagi tetangganya yang lain. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan sebagai seseorang yagn tidak beriman kepada Allah. Rasulullah SAW mengatakan:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، قِيْلَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ (متفق عليه)
Rasulullah bersabda “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”, kemudian ditanyakan siapa wahai rasulullah ? Beliau menjawab, yang tidak memberikan rasa aman pada tetangganya dari kejelekan-kejelekan dirinya.” (Mutafaqun Alaih)
8. Menjaga untuk tidak terjerumus pada perbuatan salah terhadap tetangganya.
Karena kesalahan yang paling besar adalah kesalahan yang dilakukan seseorang terhadap tetangganya. Dalam sebuah hadtis disebutkan
لِأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرَ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ (رواه أحمد)
Rasulullah bersabda, bahwa zinanya seseorang terhadap sepuluh wanita, itu lebih ringan dari pada zinanya seseorang terhadap wanita tetangganya. (HR. Ahmad)
9. Sabar terhadap keburukan tetangga dan masyarakatnya.
Karena bagaimanapun juga, tidak semua orang memiliki sifat yang baik. Adakalanya kita harus berhadapan dengan tetangga yang buruk perangainya, atau senantiasa berbuat kemaksiatan kepada Allah SWT. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
المُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيْصْبِرُ عَلَى آذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصبِرُ عَلَى آذَاهُمْ (رواه الطبراني)
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mu’min yang berinteraksi dengan masyarakatnya dan bersabar atas keburukan mereka, lebih baik daripada seorang mu’min yang tidak berinteraksi dengan mereka serta tidak sabar atas keburukan mereka. (HR. Tabrani)
10. Tidak membalas kejelekan tetangganya dengan yang serupa
Karena pada dasarnya Islam tidak mengizinkan untuk berbuat buruk kepada orang yang juga berbuat buruk kepada kita. Kita justru diminta untuk senantiasa tetap berbuat baik kepada mereka meskipun mereka terkadang tidak baik terhadap kita. Dalam sebuah hadits digambarkan:
أَتَى مُحَمَّدٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ آذَانِي جَارِيْ، فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ الثَّانِيَةَ فَقَالَ آذَانِي جَارِيْ فَقَالَ اصْبِرْ، ثُمَّ عَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ آذَانِيْ جَارِيْ فَقَالَ اعْمِدْ إِلَى مَتَاعِكَ فَاقْذِفْهُ فِي السَّكَّةِ فَإِذَا أَتَى عَلَيْكَ آتٍ فَقُلْ آذَانِي جَارِيْ، فَتَحَقَّقُ عَلَيْهِ اللَّعْنَةَ، مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ"
Suatu ketika Abdullah bin Salam ra mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, wahai rasulullah, sesungguhnya tetanggaku menyakitiku. Rasulullah SAW bersabda, bersabarlah. Kemudian beliau pulang, lalu kembali pada Rasulullah SAW untuk kedua kalinya dan berkata, wahai Rasulullah SAW. Tetanggaku menuyakitiku. Rasulullah SAW menjawab, bersabarlah. Kemudian ia pulang lalu kembali mendatangi Rasulullah SAW untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, wahai Rasulullah SAW, tetanggaku menyakitiku. Beliau menjawab, kalau demikian peganglah barang-barangmu, lalu lemparkan ke jalan. Dan apabila ada seseorang yang mendatagimu, katakalnlah (bahwa hal ini dilakukan) karena tetanggaku menyakitiku, hingga ia akan mendapatkan laknat. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetagganya.
(Hayatus Shahabah III/50)
Penutup
Pada dasarnya, ketika kita ingin mengupas secara lebih teliti mengenai etika atau akhlak dalam Islam, kita akan mendapatkan, betapa Islam merupakan agama yang penuh dengan nilai-nilai budi pekerti yang mulia. Karena memang Islam diturunkan oleh Allah adalah untuk memperbaiki tatanan moralitas yang telah rusak yang terjadi pada masyarakat dunia. Rasulullah SAW sendiri mengatakan bahwa beliau diutus dalam rangka untuk memperbaiki budi pekerti atau akhlak masyarakat dunia, dari kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik. Adapun gambaran mengenai akhlak dan etika di atas, barulah merupakan sekelumit ajaran Islam mengenai tatacara berakhlak, baik terhadap Allah ataupun terhadap manusia lainnya.
Namun ketika kita mempelajari akhlak islami, bukanlah semata-mata hanya sebagai bahan atau obyek dalam bidang keilmuan. Namun lebih dari itu, bahwa akhlak haruslah merupakan sesuatu yang mengakar dan tertancap dalam jiwa setiap muslim. Sehingga dimanapun ia berada, senantiasa mencerminkan sebagai seorang muslim sejati, kendatipun ia hidup ditengah-tengah masyarakat jahiliyah.
Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
No comments:
Post a Comment