Pages

Saturday, 14 February 2009

esay sastra

Oleh Fadlillah Malin Sutan Kayo

Kaba “Bongsu Pinang Sibaribuik” sebuah karya prosa atau novel Minangkabau yang cukup monumental, ditulis oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo. Agaknya akan dapat dibaca sebagai sebuah tafsir terhadap sosial politik dan budaya Minangkabau hari ini. Ia tidak hanya dapat dibaca sebagai sebuah karya seni tentang masa lalu semata, namun kehadirannya, pada dekade ini, mungkin sebuah pertanda revitalisasi (sastra) bangsa Minangkabau.


Banyak pengamat yang memperkirakan bahwa sastra Minang nyaris punah, sejalan dengan (perlahan) memudarnya kebanggaan pemakaian bahasa Minangkabau. Barangkali tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, bahwa sastra Minang akan hilang, karena selagi masih ada orang Minang maka sastra Minang tetap ada. Hal itu disebabkan pencipta dan penikmat karya sastra Minang yang pertama adalah orang Minang.

Sebegitu jauh, katakanlah, seandainya bangsa Minang sudah punah, maka diperkirakan sastra Minang akan tetap ada, karena apa? karena ia ditulis. Kaba lisan yang ditulis kembali oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo tersebut, adalah sebuah perkerjaan besar, pekerjaan sejarah, karena ia mengabadikan karya sastra Minangkabau, dan akan dibaca orang disepanjang zaman.

Perbudakan sebuah tema yang luar biasa.

Kaba ini menjawab sebuah pertanyan besar; apakah ada perbudakan di Minangkabau dan tercatat dalam karya sastra, sebagaimana yang dipertanyakan Dr. Anatona (dalam disertasinya) tentang perbudakan di Pulau Sumatera dan Malaka. Adapun tentang perbudakan ini nyaris terkubur dan hilang. Di Minangkabau, lebih dikenal dengan istilah “kemanakan di bawah lutuik”.

Menurut Dr.Anatona, sebelum penjajahan Belanda jalur perdagangan budak sudah ada di Padang, pulau Nias, Aceh, Sumatera Timur, dan Malaka. Nampak jalur ini sudah klasik, dan bandar Malaka merupakan pusat perdagangan manusia sampai dunia melarang (Abraham Lincoln, 1/1/1863) perdagangan manusia. Akan tetapi dalam makna yang luas perdagangan manusia masih berlangsung sampai hari ini.

Sebagaimana yang ditulis oleh media massa (Kompas, 16/9/02:16) bahwa pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malayasia, membuka mata banyak orang bahwa hal ini tidak lain adalah sebuah perdagangan manusia (human trafficking). TKI adalah seolah pelegalan perdagangan manusia secara hukum. Indonesia masuk dalam peringkat terburuk oleh masyarakat dunia dalam penanganan perdagangan manusia.

Sebagaimana ditulis Singgalang (27/8/07:1), Martini, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Medan, Sumatra Utara, dianiaya majikannya di Hongkong. Kabar buruk itu selalu ada, jika tidak dari Malaysia, tentu dari Timur Tengah dan Hongkong. Kasus terakhir yang menunggu hukum mati di Arab Saudi. Barangkali sebagian kita hanya melihat devisa yang dihasilkan TKI (2006) Rp 80 triliun saja.

Adapun PBB tahun 2000 telah menghadirkan Convention against Transnational Organized Crime yang dilengkapi dengan UN Protocol to Prevent, Supress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. 105 negara sudah meratifikasi Protokol PBB tersebut.

Nampaknya, perbudakan berhubungan dengan politik kekuasaan dan sistem pemerintahan. Kemudian sistem pemerintahan yang feodalistik, raja-raja, kerajaan, agaknya cendrung merperlakukan manusia sebagai budak, yang lebih dikenal dengan pola “hamba dan tuanku”.

Kembali kepada kaba Bongsu Pinang Sibaribuik, agaknya adalah karya sastra besar (master pieces) Minangkabau, di samping kaba Cindua Mato, karena tema yang di usung adalah sebuah tema yang tak kalah pentingnya, dan rasanya novel Indonesia yang mengangkat tema perbudakan agak jarang. Hal ini mengingatkan kita dengan Alejo Carpentier seorang novelis Havana, Kuba, yang menulis novel Negeri Kaum Budak.
(- Tulisan ini pernah dimuat di Singgalang, Minggu 03-02-2008, Hal. 11, dengan judul “Bongsu Pinang Sibaribuik dan Bangsa Bermentalitas Budak”. Jika anda ingin memiliki artikel ini silahkan tulis mail kepada sdr. Fadlillah Malin Sutan Kayo; e-mail: fadlilah@gmail.com)

No comments:

Post a Comment