Pages

Saturday, 21 February 2009

Restorasi Meiji II

Restorasi Meiji II: Menunda Matahari Terbenam (di Barat)
Pada 8 Juli 1853, Komodor Matthew Perry dari Angkatan Laut Amerika Serikat mencapai Edo (kemudian bernama Tokyo). Ada 4 kapal perang besar AS—orang Jepang menyebutnya Kapal-kapal Hitam—yang bersauh di pelabuhan Edo.


Kesemuanya dilengkapi dengan persenjataan lengkap, termasuk meriam-meriam besar yang moncongnya mengarah ke Kekaisaran Jepang.
Kaisar Meiji, yang kala itu memerintah, tidak bisa berbuat apa-apa melihat unjuk kekuatan dari Amerika. Meiji lantas melakukan langkah revolusioner pada zaman itu: membuka hubungan dagang dengan Amerika, yang diperkuat dengan Konvensi Kanagawa (31 Maret 1854).
Rentetan peristiwa yang dirangkum dalam frase “Restorasi Meiji” ini menjadi momentum yang mengubah wajah Jepang secara keseluruhan. Tidak hanya hubungan dagang yang terbuka, melainkan juga terbinanya kerjasama politik dengan negara asing. Jepang benar-benar membuka diri terhadap dunia makro. Jepang mengadopsi sistem pendidikan, menerapkan metode militer modern ala Barat, dan, yang paling spektakuler, mengubah sistem politiknya.
Pada 11 Februari 1889, Meiji menggelontorkan apa yang kemudian disebut Konstitusi Meiji (atau Konstitusi Jepang)—praktiknya sendiri baru dimulai pada 29 November 1890. Hingga tahun 1947, undang-undang ini diberlakukan sebagai landasan bagi sebuah monarki konstitusional berdasarkan model Prusia, di mana Kaisar Jepang adalah penguasa aktif dan mempunyai kekuasaan politik yang besar, namun membagi hal ini dengan anggota parlemen yang dilantik. Setelah itu, seiring kekalahan Jepang di penghujung Perang Dunia II, Konstitusi Meiji diperbaharui untuk mentransformasi sistem kekaisaran dengan sejenis demokrasi liberal ala Barat.
Karena Restorasi Meiji tersebut, Jepang akhirnya menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang sangat besar sebagaimana kita lihat sekarang.
Sayang sekali, nyaris saja Negeri Matahari Terbit itu terbenam hanya gara-gara miskin keturunan laki-laki. Tercatat, sejak kelahiran Akishino pada 1965, negara dengan luas wilayah 377.835 km² ini nir keturunan laki-laki. Semua cucu Akihito berjenis kelamin perempuan.
Sebelum kelahiran pangeran baru, Hisahito, pada 6 September kemarin, Kekaisaran Jepang sempat gonjang-ganjing dengan merebaknya tuntutan publik untuk membolehkan anak perempuan menjadi pewaris tahta. Perdebatan antara yang pro dan kontra pun terjadi dengan sangat ngotot. Tidak hanya kalangan dalam istana yang terlibat, masyarakat luas pun bersikap sebagai pembela dari setiap kubu. Satu pihak bersikukuh “mempertahankan” tradisi lama, sedangkan satu pihak lagi bersikeras “melanjutkan” tradisi lama, apa pun caranya.
Ini seperti perdebatan antara mana yang lebih penting: menetapi masa lalu atau menyiasati masa depan. Sampai di sini, Koizumi merasa harus bertindak. Ia memilih untuk menyelamatkan keberlangsungan kekaisaran Jepang ke depan. Pada Januari 2005, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi menunjuk 10 orang ahli dari beberapa golongan untuk bertindak sebagai tim khusus demi membuat konstitusi tentang kemungkinan penerus tahta kerajaan adalah perempuan. Langkah ini diambil Koizumi, sekali lagi, untuk mengantisipasi kemungkinan tiadanya keturunan laki-laki dalam keluarga Kaisar.
Satu bayi laki-laki ini, dengan demikian, menunda langkah Koizumi. Namun, tampaknya tidak cukup untuk menghentikan rencananya. Hasil jejak pendapat yang dilakukan oleh media NHK setelah kelahiran ahli waris mahkota Bunga Krisan, menunjukkan perlunya perubahan konstitusi (56 persen) sehingga wanita dan anak-anaknya bisa naik tahta. Ini adalah representasi mayoritas suara publik Jepang, mengingat hanya 33 persen saja yang mencoba mempertahankan tradisi kuno kekaisaran. Landasannya: selain upaya menyelamatkan kekaisaran tertua di dunia, tentulah massifnya anggapan bahwa pada zaman sekarang perempuan didudukkan setara dengan laki-laki.
Kita melihat jejak feminisme di sini.
Feminisme sendiri merupakan sebuah aliran pemikiran dan gerakan yang muncul di Eropa pada waktu yang nyaris bersamaan dengan Restorasi Meiji. Pada abad Pencerahan, perempuan-perempuan Eropa seperti Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet sudah mulai mengumumkan terpojoknya perempuan di segala situasi. Baru ketika abad 19 di depan mata, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.
Sejak istilah ini dicetuskan pertama kali oleh seorang aktivis sosialis-utopis, Charles Fourier pada tahun 1837, feminisme mulai mendapat tempat dalam sejarah pemikiran Eropa. Buku yang ditulis John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869) seperti menjadi genderang kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Gerakan pada masa inilah yang mula-mula menuntut pengurangan atau penghapusan pemasungan kebebasan terhadap perempuan. Eropa menggeliat untuk menaikkan derajat perempuan.
Kita kemudian melihat hubungan samar-samar antara rencana Koizumi dengan Restorasi Meiji dan Feminisme.
Ada koinsidensi menarik yang menyimpul ketiga entitas sejarah (di Jepang dan dunia) tersebut. Kita bisa saja menduga bahwa Koizumi berniat mengulangi langkah taktis-politis yang dilakukan Kaisar Meiji pada abad 19. Kali ini, Koizumi mengusung feminisme, memasukkan pemikiran itu ke dalam tembok istana yang sedemikian maskulin secara historis. Kita boleh pula mengira bahwa Koizumi cuma bermaksud menunda terbenamnya Kekaisaran Matahari Terbit, dan tidak aneh-aneh.
Semua bisa benar. Sebenar ketika meramalkan bahwa keberhasilan Restorasi Meiji membuat orang tergiur untuk melakukannya lagi. Yang pasti: matahari terbit di timur, terbenam di barat.

No comments:

Post a Comment