”Saya lebih senang disebut sebagai penyair saja,” ucap Abdul Hadi Widji Muthari. Selebihnya, seperti jabatan redaktur kebudayaan harian Berita Buana, dan anggota Dewan Pimpinan Harian Dewan Kesenian Jakarta, dapatlah dianggap sebagai tambahan.
Puisi adalah getar nadinya. ”Saya menyukai puisi sejak saya jatuh cinta,” kata Hadi. Yakni ketika di SMP. Kemudian, ia merasa dimatangkan oleh karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, serta dorongan orangtua, kawan, dan guru.
Sebagaimana anak Madura lainnya, Hadi adalah ”Anak Laut, Anak Angin”, seperti bunyi judul kumpulan puisinya. Padahal, darah Maduranya hanya sebagian. Selebihnya Cina dan Jawa. Namun, bakat seni memang mengalir deras dalam dirinya, mewarisi keluarga yang suka karya sastra, ayah yang gemar melukis, dan kakek yang senang bersenandung Mocopatan, dan membaca sastra Jawa.
Masa kecilnya sudah dijejali dengan bacaan berat. Semula bercita-cita menjadi pemikir. Artinya, ”Yah, semacam filosof yang menerbitkan ide-ide baru.” Plato, Socrates, Imam Ghazali, R. Tagore, dan Iqbal, dikenalnya betul, paling tidak demikianlah perasaannya. Dan untuk memenuhi keinginan batinnya, ia meninggalkan Fakultas Sastra, dan pindah ke Fakultas Filsafat.
Sekitar 1970-an, nama Abdul Hadi mencuat. Para pengamat menilai Hadi sebagai pencipta puisi yang bersuasana hati. Hadi memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Makin lama, warna mistis Islamnya makin menonjol, dan kadang malah menyatu dengan mistis Jawa. Kumpulan puisi Meditasi yang memenangkan hadiah buku puisi DKJ terbaik 1978, dan buku Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, mewakili kecenderungan religiusnya.
Orang sering membandingkan Abdul Hadi dengan Taufiq Ismail, yang juga berpuisi religius. Hadi membantahnya. ”Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufiq hanya menekankan sifat moralistisnya,” katanya.
Hingga kini sudah enam kumpulan puisi yang diterbitkannya. Empat buku lainnya bukan puisi. Dengan istrinya, Tedjawati, yang menjadi pelukis, Hadi sering terlibat diskusi soal seni. Ia juga menyukai karya Bach, Beethoven, dan The Beatles.
Abdul Hadi WM menerima tawaran dari University Sains Malaysia yang memberinya
kesempatan menjadi “ahli cipta” di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, University Sains Malaysia, pada 1992. Posisinya sebagai “ahli cipta” di perguruan tinggi yang berlokasi di Penang, Malaysia itu membuka peluang mengikuti program doktoral di perguruan tinggi itu dalam bidang sastra. Ia menyusun tesis Estetika Puisi Hamzah Fanzuri (Kajian tentang Hamzah Fanzuri).
Terakhir, ia menjadi menjadi dosen pada Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina.
Nama :
ABDUL HADI WIDJI MUTHARI (Abdul Hadi W.M.)
Tempat Tanggal Lahir :
Sumenep, Jawa Timur, 24 Juni 1946
Pendidikan :
- SD, Pesongsongan (1958)
- SMP, Sumenep (1961)
- SMA, Surabaya (1964)
- Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta (1964-1967)
- Fakultas Filsafat UGM (tingkat doktoral, 1971)
Karyanya (kumpulan puisi maupun cerita) antara lain:
- Laut Belum Pasang, Litera, 1971
- Potret Panjang Pengunjung Pantai Sanur, Pustaka Jaya, 1975
- Meditasi, Budaya Jaya, 1976 (mendapat hadiah Buku Puisi Terbaik DKJ)
- Anak Laut Anak Angin, Harapan, 1983
- Modin Karok, (Cerita Rakyat Madura), Balai Pustaka, 1983
- Keluarga Tikus (cerita anak-anak), Balai Pustaka, 1984
Kegiatan Lain :
- Redaktur Gema Mahasiswa UGM (1967-1968)
- Redaktur Mahasiswa Indonesia Edisi Ja-Teng (1969-1970)
- Redaktur Mahasiswa Indonesia Edisi Ja-Bar (1971-1974)
- Redaktur Pelaksana Budaya Jaya (1977-1978)
- Redaktur majalah Kadin (1979-1981)
- Redaktur Balai Pustaka (1981-1983)
- Redaktur Budaya Berita Buana (sejak 1979)
- Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983)
- Dosen Universitas Paramadina (sekarang)
No comments:
Post a Comment