Jafar Suryomenggolo
Pertumbuhan ekonomi Jepang yang begitu tinggi pasca-Perang Dunia II hingga membawa negeri itu menjadi raksasa ekonomi setelah Amerika Serikat membuat banyak sarjana kagum, sekaligus terheran-Heran.
Fakta statistik pertumbuhan ekonomi Jepang menjadi diskusi panjang semenjak awal tahun 1960-an, dan darinya terbentuklah wacana tentang "keajaiban ekonomi Jepang".
Banyak sarjana menganalisis langkah modernisasi Jepang dan meneliti segala paket ekonomi yang bersendikan kapitalisme. Mereka memfokus diri untuk mencari semacam formula atas keajaiban itu.
Wacana itu bukan sekadar latihan intelektual, sebab ia juga punya nilai praktis. Salah satu tujuan kajian macam itu adalah memecahkan paradoks pembangunan ekonomi sehingga dapat menerapkan formula tersebut dengan menjadikan kisah sukses Jepang sebagai model pembangunan.
Dalam konteks demikianlah, kiranya tulisan Daoed Joesoef (Kompas, 7/7/2007) dan artikel pendek Tony Dickensheets yang dirujuknya (Japan Quarterly, 1996), patut dibaca.
Pendidikan "kyoiku mama"
Kalimat pertama Daoed Joesoef ("Di antara banyak faktor yang berperan membuat Jepang menjadi raksasa ekonomi di paruh kedua abad XX adalah etika kerja dari karyawan yang stereotip.") dengan mengutip Tony Dickensheets jelas mencoba menarik pembaca untuk melihat kunci "keajaiban ekonomi Jepang" tidak hanya terletak pada faktor ekonomi, tetapi juga pada faktor non-ekonomi. Yang ditunjuknya adalah pendidikan. Lebih spesifik lagi, peran perempuan, khususnya kyoiku mama, dalam pendidikan.
Karena itu, Daoed Joesoef pun mengatakan, "(k)arena itu dipegang teguh kebijakan ryosai kentro (sic!) (istri yang baik dan ibu yang arif), yang menetapkan posisi perempuan selaku manajer urusan rumah tangga dan perawat anak-anak bangsa. Sejak dulu filosofi ini merupakan bagian dari mindset Jepang dan menjadi kunci pendidikan dari generasi ke generasi", dengan berdasarkan pada Dickensheets. Jadi, menurut dia, peran kyoiku mama dalam pendidikan adalah satu resep "keajaiban ekonomi Jepang".
Kyoiku mama adalah satu kosakata yang baru muncul dalam generasi baby boomers tahun 1960-an. Kyoiku mama bukanlah konsep netral. Ia bermaksud menjelaskan fakta tentang obsesi besar sejumlah ibu akan anak-anak mereka dalam merebut bangku pendidikan di beberapa sekolah (dan kampus) ternama.
Terdorong obsesi yang begitu besar, ibu-ibu itu melakukan segala upaya, memastikan (kerap juga memaksa) anak-anak mereka dapat masuk ke sekolah ternama. Tidak cukup mengirim anak ikut kelas privat (juku) karena menganggap pelajaran yang diterima di sekolah tidaklah cukup, kyoiku mama juga memaksa anak-anak mereka belajar lebih panjang dari biasanya, hingga 16 jam dalam sehari.
Ketatnya persaingan dalam ujian masuk kampus ternama dijadikan tolak ukur dan alasan. Secara anekdotal, kyoiku mama kerap digambarkan sebagai ibu yang telah mempersiapkan anak mereka, bahkan semenjak taman kanak-kanak. Jadi, dalam konteks Jepang, kyoiku mama punya konotasi tak begitu baik.
Wadah yang menampung kyoiku mama adalah adanya kepercayaan pendidikan yang baik membawa kemajuan ekonomi. Berhasil masuk kampus ternama dianggap menciptakan bibit unggul dalam pasar kerja sehingga dapat memperoleh posisi tinggi dalam pekerjaan dan akhirnya membawa kemajuan ekonomi bangsa.
Selain itu, kyoiku mama punya anggapan akan citra ibu yang berhasil adalah ibu yang anaknya masuk kampus ternama. Anak yang kuliah di kampus non-unggulan dianggap sebagai anak biasa-biasa saja, dari keluarga biasa-biasa pula, dan ibu yang tidak berhasil.
Tidak berdiri sendiri
Anggapan di atas dalam dunia riil sulit atau bahkan tidak mungkin terwujud. Asumsinya tentang pendidikan sangat romantik.
Nyatanya, tidak terdapat korelasi positif atas pendidikan yang baik dengan pekerjaan yang mantap. Terlebih lagi semenjak awal tahun 1990-an pasar kerja Jepang berubah drastis dari sistem kerja permanen menjadi sistem kerja kontrak dan paruh waktu. Banyak anak muda, walau lulus dari kampus ternama, tidak memperoleh kepastian mendapatkan kerja, sekalipun kerja kontrak.
Selain itu, alih-alih menjadi bibit unggul, kyoiku mama malah menciptakan anak yang hikikomori. Anak-anak mereka menghabiskan 16 jam sehari untuk belajar hingga menjadi tidak mampu membawa diri dalam pergaulan sosial.
Sebagai fenomena sosial, kyoiku mama tidak berdiri sendiri. Seperti yang dikatakan Dickensheets, ia berbasiskan atas konsep ryosai kenbo. Konsep ini sendiri tidaklah netral. Sudah sejak 1910-an para feminis Jepang mempertanyakan kesahihan konsep tersebut yang terpatri semenjak zaman Meiji, dengan menunjuk pada fakta domestifikasi perempuan dan pengabaian akan perempuan bekerja.
Kritik feminisme dalam studi ekonomi atas perdebatan wacana "keajaiban ekonomi Jepang" adalah seakan-akan hanya laki-laki saja yang menciptakan dunia kerja. Mereka menyodorkan fakta perempuan yang bekerja adalah pilar utama pertumbuhan ekonomi Jepang.
Industrialisasi Jepang bersendikan keringat dan darah buruh perempuan. Kajian ekonomi feminis membuktikan, buruh perempuan di industri tekstil adalah motor utama penggerak kemajuan ekonomi Jepang, pada masa sebelum dan sesudah Perang Dunia II.
Wacana "keajaiban ekonomi Jepang" memang banyak mengabaikan fakta lain, yaitu hanya melihat Jepang dari satu sisi saja dan secara anakronis menafsirkan sejarah Jepang dengan berproyeksikan pada masa kini.
Sejarah mencatat, seusai Perang Dunia II, Jepang juga sempat "mencoba" langkah lain di samping pasar kapitalisme, ketika meluasnya sindikalisme dan kontrol penuh para buruh dalam industri.
No comments:
Post a Comment