1. Pendahuluan
Jepang yang terletak di wilayah Sirkum-Pasifik mempunyai keunikan karakteristik sumberdaya air tersendiri. Fisiografis wilayah yang dikelilingi pegunungan yang mencakup ? bagian wilayahnya serta sungai-sungai yang pendek dan tergolong curam mengakibatkan pola distribusi siklus air menjadi sangat unik.
Keunikan karakteristik tersebut sangat mempengaruhi siklus hidrologi di wilayah daerah aliran sungai. Banyaknya gunung dan bukit serta sungai yang sempit dan curam tersebut mengakibatkan hujan yang jatuh di daerah hulu mengalir dengan cepat ke laut dan yang terserap kedalam tanah hanya dalam jumlah yang terbatas. Rata-rata curah hujan di Jepang setiap tahunnya di atas 1600 mm, yang terjadi pada musim hujan serta saat-saat typhoon antara bulan Juni-Oktober. Faktor curah hujan yang tergolong tinggi serta tingkat kemampuan menahan air tanah yang rendah mengharuskan pemerintah Jepang membuat bangunan penangkap/penahan air dalam jumlah besar, mulai dari bendungan raksasa sampai ke kolam-kolam penampungan air skala mikro.
Pemerintah Jepang telah menghabiskan banyak biaya untuk pembangunan bendungan dan kolam penampungan air dalam upayanya untuk memaksimalkan penangkapan air hujan. Menurut hasil survey [2} dan [3] saat ini tercatat lebih dari 2.650 dam (ketinggian >15 m) telah dibangun di Jepang, dengan daya tampung air mencapai 26.9 milyar meter kubik. Selain dam, embung penampung air juga banyak dibangun dengan peruntukan utama untuk mengairi lahan pertanian. Pembangunan waduk dalam jumlah besar tersebut menempatkan Jepang sebagai negara ketiga terbesar di benua Asia dalam hal jumlah bendungan setelah China dan India, atau peringkat pertama dalam hal rasio antara jumlah bendungan per luas wilayah. Pembangunan bendungan dalam jumlah besar tersebut tidak hanya ditujukan untuk keperluan penampungan air saja namun bersifat multifungsi, misalnya untuk pengendalian banjir, tempat pemeliharaan ikan, rekreasi dan lain-lain. Pembangunan bendungan dan kolam penampungan air di Jepang pada satu sisi memberi keuntungan dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air untuk aktifitas pertanian, industri maupun perumahan. Namun demikian terlepas dari keuntungan tersebut pembangunan sarana tersebut juga membawa permasalahan-permasalahan baik itu dalam kaitannya dengan pendanaan untuk konstruksi jaringan irigasi maupun dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan (O&P) sarana dan prasarana yang telah dibangun. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan kondisi sumberdaya air di Jepang, yang mencakup aspek distribusi penggunaan air, model O&P fasilitas air serta permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan bangunan air tersebut.
2. Distribusi Penggunaan Air
Tinggi rendahnya tingkat konsumsi air masyarakat sangat berkorelasi dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat tersebut. Sebagaimana negara-negara lain, tingkat penggunaan air di Jepang mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan penggunaan air di belahan dunia lainnya, dimana porsi terbesar dari alokasi air di berikan ke sektor pertanian. Berdasarkan hasil survey tahun 1998 jumlah air tersedia setiap tahunnya berkisar antara 150-200 miliar meter kubik, dimana lebih dari 60% dipakai untuk mengairi lahan pertanian, sedangkan sisanya masing-masing sebesar 15% dan 18% dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri [4]. Dengan tingkat penggunaan air perkapita penduduk mencapai 3.393 meter kubik pertahunnya, atau setengah dari rata-rata potensi air perkapita dunia yg mencapai 7.045 meter kubik, Jepang juga dihadapkan pada permasalahan distribusi penyebaran penduduk yang tidak merata, dimana kesenjangan antara tingkat kepadatan penduduk di perkotaan dan di daerah pedesaan sangat tinggi. Rata-rata kepadatan penduduk di wilayah perkotaan sebesar 6.600 orang/km2 dan 121 orang/km2 di wilayah pedesaan. Adanya kecenderungan penduduk yang meninggalkan kampung halamannya menuju kota-kota besar untuk mencari pekerjaan pada beberapa dekade terakhir ini juga akan menimbulkan permasalahan dalam proses pendistribusian air dimasa mendatang.
Pendistribusian air ke lahan pertanian digunakan untuk pemenuhan kebutuhan lahan sawah untuk produksi padi, tanaman sayuran/buah, dan kebutuhan peternakan. Alokasi air untuk produksi padi menyerap sekitar 95% dari total air tersedia untuk pertanian. Pada tahun 1998 saja, jumlah pemakaian air untuk proses produksi padi mencapai 56x109 meter kubik.
3. Distribusi Air dan Fasilitas Pendukungnya
Aktivitas pertanian di Jepang membutuhkan sedikitnya 60x109 meter kubik air setiap tahunnya yang diambil dari sungai, air tanah, dan kolam-kolam penampungan air. Keterse diaan air baik secara kualitas maupun kuantitas lebih tersedia di wilayah pedesaan di Jepang. Hal ini disebabkan karena di wilayah pedesaan proses siklus air berjalan dengan baik sehingga ketersediaan air senantiasa terjaga. Lain halnya di daerah perkotaan dimana air tidak mengalami siklus perputaran air dengan baik dan terbuang percuma ke saluran pembuangan dan mengalir ke laut.
Proses distribusi air di Jepang didukung oleh jaringan irigasi yang mantap dengan disertai kesadaran yang tinggi dari para petani dalam kegiatan O&Pnya. Jaringan irigasi di Jepang sebagian besar terdiri dari line canal dimana semua struktur salurannya dibuat dari beton dan dirancang khusus untuk tahan gempa. Secara umum, bangunan irigasinya terdiri dari bendung yang berfungsi untuk menaikkan air pada ketinggian tertentu untuk kemudian dialirkan ke saluran irigasi melalui bangunan bagi. Bangunan irigasi di Jepang juga dilengkapi dengan sarana drainase yang berfungsi untuk membuang kelebihan air. Rancangan fasilitas irigasi dan drainase yang sangat kokoh dan lengkap tersebut tentu saja membawa konsekuensi pada meningkatnya jumlah saluran dan biaya konstruksi dan pemeliharaan saluran-saluran tersebut. Berdasarkan hasil survei keberadaan fasilitas irigasi pada tahun 1995, didapatkan bahwa panjang saluran utama dari bangunan irigasi di Jepang tercatat sebesar 40.000 km, dan apabila saluran tersier ikut dimasukkan menjadi 400.000 km [4]. Panjang saluran tersebut tercatat tiga kali lebih besar dari total panjang sungai di Jepang dan dua kali panjang jalan tol negara dan jalan prefektur.
4. Manajemen Fasilitas Irigasi
Berbeda dengan negara-negara berkembang yang kegiatan O&P salurannya dilaksanakan oleh pemerintah, kegiatan O&P jaringan air di Jepang diserahkan sepenuhnya kepada petani, dengan tujuan memacu kemandirian petani dalam pengelolaan aset irigasi. Dalam implementasinya, petani di setiap daerah (chiku) membuat organisasi yang bertujuan mengatur dan mengelola aset yang diberi nama Land Improvement District (tochikairyouku) atau LID. Organisasi ini, semacam perhimpunan petani pemakai air (P3A) di Indonesia, namun cakupan tanggungjawabnya lebih luas yakni mencakup kegiatan O&P jaringan, termasuk di dalamnya pengaturan distribusi air. Organisasi ini telah berdiri sejak dahulu, dan seiring dengan dikeluarkannya undang-undang tentang perbaikan tanah/lahan memungkinkan dilakukannya perancangan, perbaikan dan pemeliharaan aset bangunan yang ada secara legal.
Para petani yang menjadi anggota organisasi dikenakan kewajiban membayar iuran O&P jaringan (rata-rata sebesar 100.000 yen per tahun), dan uang tersebut dipakai untuk menyewa LID untuk melakukan kegiatan O&P saluran, misalnya pembersihan atau perbaikan saluran yang mengalami kerusakan. Model kerjasama antara petani-LID sifatnya profesional, hampir sama dengan model kerja perusahaan yang menuntut rasa tanggungjawab yang tinggi dari para petani atas keberadaan fasilitas irigasi. Diagram alir dari kegiatan O&P saluran antara petani dan LID disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir organisasi
5. Kolaborasi LID- Petani Saat Krisis Air
Salah satu indikator bagus tidaknya kondisi suatu sungai adalah nilai koefisien aliran sungai, dimana nilai yang rendah menunjukkan masih bagusnya kondisi aliran sungai. Nilai koefisien aliran sungai di Jepang tergolong agak tinggi sehingga resiko kekeringan juga besar. Selain itu juga kadangkala kekeringan yang tidak normal datang, umumnya terjadi pada akhir musim hujan dimana periode tersebut merupakan saat?saat padi membutuhkan air dalam jumlah yang banyak. Pada saat yang sama kebutuhan air untuk keperluan domestik juga meningkat pesat. Dalam situasi sulit tersebut, petani bekerjasama dengan LID, dan mengeluarkan dana untuk proses konservasi air melalui penggunaan air bergilir, water reuse, dan pengecekan kebocoran saluran.
Upaya meminimalkan penggunaan air melalui penambahan tenaga kerja untuk manajemen air berdampak pada meningkatknya biaya operasional yang harus dikeluarkan. Sebagai contoh pada kondisi kekeringan abnormal yang terjadi pada tahun 2001 laju konservasi air mencapai 76% untuk penggunaan di pertanian, 50% untuk industri dan 40% untuk kebutuhan domestik, yang dilakukan di sungai Yahagi di Aichi Prefektur. Sementara biaya yang dikeluar kan untuk mendukung program penghematan air meningkat antara 127 sampai 183%, dengan dana sebesar 9.72 juta Yen. Peningkatan jumlah pengeluaran tersebut digunakan untuk keperluan penyediaan pompa emergency, pembuatan media informasi dan tenaga kerja.
6. Permasalahan Berhubungan dengan Irigasi
Jepang telah mencatat sejarah yang panjang menyangkut penerapan sistem irigasi dalam proses produksi tanaman. Namun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan munculnya kesenjangan antara indusri-perta nian, baik dari segi finansial serta beban kerja.
6.1 Penurunan Kualitas Air Pertanian Akibat Modernisasi Pertanian
Dalam periode pertumbuhan ekonomi Jepang yang sangat pesat antara tahun 1960 ?1970, juga terjadi peningkatan polusi yang bersumber dari domestik dan industri. Penggunaan bahan kimia dalam proses produksi padi juga membawa dampak yang buruk bagi lingkungan dimana unsur Nitrogen dan Fosfor buangan dari lahan pertanian mencemari sungai dan air tanah. Periode antara 1965-1975 merupakan periode dengan tingkat polusi tertinggi di Jepang, dimana polusi menjadi permasalahan serius yang sulit ditanggulangi. Menyadari dampak buruk aktivitas tersebut berbagai undang-undang dikeluarkan dalam periode tersebut, misalnya undang-undang tentang kontaminasi serta penetapan kualitas air.
6.2 Ekstensifikasi Pertanian Meningkatkan Resiko Kerusakan Fasilitas Irigasi
Dimulai sejak era pertumbuhan ekonomi, sebenarnya sudah mulai terlihat gap antara tingkat ketersediaan lahan dengan jumlah petani, dimana pada satu sisi umur petani kian bertambah sementara disisi lain tidak ada generasi penerusnya. Hal ini berdampak pada menurunnya jumlah petani serta bertambahnya lahan yang tidak tergarap. Rasio ketersediaan lahan dengan jumlah tenaga kerja yang rendah tersebut mengakibatkan beban kerja petani semakin bertambah. Sebagai contoh petani yang bertugas mengelola air di daerah hulu dari bendung yang jumlahnya berkurang akan beresiko tidak mampu mengontrol air di bendung yang dapat membahayakan daerah-daerah dibawahnya. Dalam kaitannya dengan biaya O&P fasilitas irigasi, pihak pemerintah pusat/ daerah membagi distribusi pembebanan biaya untuk pemeliharaan jaringan irigasi dengan pihak Land Improvement District dengan perbandingan proporsi 2/3 : 1/3, dimana dua per tiganya ditanggung oleh Land Improvement District sementara sisanya ditanggung oleh pemerintah pusat/daerah.Penigkatan biaya pemeliharaan saluran seiring dengan bertambahnya umur saluran mengakibatkan meningkatnya beban yang harus ditanggung oleh pihak Land Improvement District. Biaya tersebut 46% dipakai untuk perbaikan saluran, proses pengolahan limbah 18%, instalasi fasilitas keselamatan jaringan 11% dan sisanya untuk operasi pompa/drainase, pembersihan gulma.
7. Pengelolaan Aset Irigasi Secara Terpadu
Keberadaan fasilitas irigasi di Jepang membawa dampak sosial ekonomi yang luas, dimana disatu sisi keberadaan fasilitas tersebut telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi pertanian. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, umur teknis bangunan irigasi juga semakin berkurang sehingga membutuhkan pembaharuan dimasa mendatang. Selama periode 1975 sampai 1995, terjadi pembengkakan biaya rekonstruksi fasilitas irigasi, dimana pada tahun 1975 biaya yang dikeluarkan untuk rekonstruksi jaringan hanya sebesar 10 trilyun yen sementara pada tahun 1995 membengkak menjadi 22 trilyun yen. Pembengkakan biaya ini disebabkan oleh meningkatnya potensi kerusakan jaringan irigasi seiring menuanya umur fasilitas irigasi. Pada tahun 1995 didapatkan bahwa hanya berjumlah sekitar 60 set jaringan yang mengalami potensi kerusakan jaringan, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi sekitar 400 set jaringan [1]. Menyiasati permasalahan tersebut pemerintah Jepang saat ini lebih menfokuskan perhatiannya ke aspek perawatan/pemeliharaan fasilitas yang ada dibandingkan membangun fasilitas baru.
8. Penutup
Sebagai penutup dapat dikemukakan beberapa point penting berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air di Jepang. Adanya kemandirian petani untuk mengelola fasilitas irigasi yang telah dibangun oleh pemerintah menjadi salah satu kunci utama keberlanjutan sistem usahatani di Jepang. Namun demikian terlepas dari keberhasilan tersebut usahatani di Jepang juga dihadapkan pada permasalahan kelangkaan tenaga kerja di bidang pertanian serta meningkatnya beban petani untuk mengelola aset irigasi yang berbiaya tinggi. Biaya pengelolaan aset irigasi tersebut akan terus membengkak seiring menuanya umur fasilitas tersebut. Olehnya itu dalam menyiasati permasalahan tersebut, manajemen irigasi di Jepang saat ini lebih diarahkan kepada pemeliharaan dan perawatan aset-aset yang ada dengan disertai perbaikan efisiensi penggunaan air. Selain itu juga dilakukan upaya rasionalisasi terhadap aset yang akan diperbaiki dengan terlebih dahulu mempertimbangkan tingkat keuntungan yang diperoleh terhadap biaya pengeluaran untuk perbaikan fasilitas.
Daftar Pustaka
[1] Agricultural Water Drainage Canal Bureau, 1995. Key agricultural water drainage canals.
[2] IJHD, 2000. Dams, water and Energy- A statistical profile.
[3] The World Commision on Dams, 2000. Dams and Development.
[4] The Japanese Institute of Irrigation and Drainage (JIID), 2003: A message from Japan/Asia to the world water discussions
No comments:
Post a Comment