Pages

Saturday, 21 February 2009

Geisha

KONTRADIKSI DALAM ASUMSI RELIGIUSITAS PADA BANGSA
JEPANG: TELAAH FILOSOFIS PERGESERAN MAKNA RELIGI

Sartini
Abstract: The religion generally creates religious society. Thereligious society principally could be seen from their attitude thatfollow religious norms, because religion it self guides the people notto do something bad. But in special case, religious Japanese peoplewere founded something unusual and contradict to this ideal values.In the history, the concepts of Geisha, Jugun Ianfu, and any sexualharassments had been founded in religious Japanese people. Thiscontradiction may be caused by the change of their religion point ofview.




Kata kunci: Geisha, Jugun Ianfu, kekerasan seksual, masyarakat agamis
Gagasan akan tema ini muncul setelah melihat adanya beberapa peristiwa yang berhubungan dengan perilaku bangsa Jepang, khususnya yang berhubungan dengan wanita. Peristiwa atau fenomena dimaksud adalah jugun ianfu yang menghebohkan dunia dan menjadi trade mark bangsa Jepang, budaya geisha yang juga khas Jepang dan “budaya” pelecehan seksual terhadap wanita. Sedangkan di sisi lain, bangsa Jepang sering dianggap sebagai bangsa yang religius. Hal ini dapat dilihat dari adanya keyakinan bangsa Jepang bahwa bekerja merupakan satu bentuk manifestasi peribadatan. Di samping itu penampilan cultural bangsa Jepang dengan banyaknya festifal keagamaan memberi gambaran sesungguhnya ungkapan-ungkapan religiusitas bangsa Jepang sangat kental. Bangsa Jepang sangat menyukai acara-acara ziarah dan perayaanhari raya (Benedict, 1982:97) Singer berpendapat bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang matang dari segi budaya (Singer,1990:94). Hal ini dapat dilihat pada kematangannya mengemas budaya sendiri dan budaya luar menjadi budaya yang khas Jepang. Orang Jepang menunjukkan perilaku sinkretik dengan mengkombinasikan beberapa ritual keagamaan dalam hidup untuk tujuan-tujuan tertentu (Earhart, 1984:22). Agama atau secara lebih umum religi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan Bangsa Jepang dan tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat secara keseluruhan. Menurut FukuzawaYukichi (1985:220) agama dan religi merupakan sumber nilai bagi kehidupanmasyarakat Jepang.
Bila dikatakan bahwa agama lazimnya akan melahirkan budaya agamis pada suatu masyarakat (Brede Krentensen dalam Musa Asy’ari dkk, 1993:56) maka mungkin tesis ini pun harus diterjemahkan. Di Jepang dikenal banyak upacara dan festival keagamaan. Boleh jadi ini salah satu bagian dari kategori agamis. Dalam arti yang lebih rohaniah mungkin agama akan memberi arti dalam menuntun masyarakat untuk hidup yang lebih beradab, meskipun istilah beradab tidak selalu memberi pengertian standar. Kadang suatu hal yang dianggap beradab dalam suatu budaya dihargai berbeda dalam budaya lain. Ekstrimnya lagi, suatu hal yang dilarang dalam budaya tertentu mungkin tidak dilarang dalam budaya lain. Yang dilarang di dalam kepercayaan atau religi yang satu tidak atau bahkan dianjurkan dalam religi yang lain. Kegiatan ritual yang bernilai dalam religi tertentu mungkin ditafsirkan sebagai kejahatan dalam tradisi religi yang lain. Dalam masyarakat Jepang yang dianggap budayanya telah matang sebagaimana di atas, dengan jalin-menjalinnya agama-agama di Jepang dengan budaya masyarakat (Inazo Nitobe, 1900:7-10) maka ironis bila ternyata bangsa Jepang menunjukkan perilaku yang menunjukkan moralitas rendah terutama dalam perlakuannya pada wanita. Oleh karena itu, maka dimungkinkan ada satu penyebab sehingga muncul dua hal yang bertentangan tersebut. Yad Mulyadi(1997:58) menengarai bahwa aspek dominan yang menentukan pola tindakan manusia terhadap lingkungan salah satunya adalah religi. Oleh karenanya maka sangat mungkin ada unsur-unsur dalam religi yang tumbuh di Jepang mewarnai fenomena masyarakat yang kemudian muncul. Masalahnya kemudian, mengapa yang muncul justru hal negatif yang lazimnya tidak mencirikan moralitas masyarakat religius itu sendiri. Atas dasar dua sisi factual dan teoritis di atas maka tampak bahwa terdapat semacam logika yang kontradiktif. Lazimnya, masyarakat yang cenderung dipahami sebagai bersifat religius akan menampilkan karakter masyarakat yang cenderung memenuhi standar moralitas religius yang menempel padanya. Sistem keyakinan pada dasarnya akan menjadi sistem nilai kebudayaan, menjadi pendorong, penggerak dan pengontrol terhadap anggota individu dan masyarakat agar berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Robertson, 1998:vi-viii). Pada bangsa Jepang (istilah bangsa menunjukkan Jepang sebagai kelompok manusia dengan karakter tertentu), tesis tersebut terkesan bertolak belakang. Atas dasar logika berpikir ini, maka dalam artikel ini akan dibahas kemungkinan teoritis yang mendasari hal tersebut.

GEISHA, JUGUN IANFU, DAN PERLAKUAN MINOR BANGSA
JEPANG TERHADAP WANITA SEBAGAI FAKTA SEJARAH

Geisha merupakan bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang. Geisha sebagai bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang cukup fenomenal. Di satu sisi menggambarkan betapa anggun dan berbudayanya wanita Jepang tetapi disi lain memunculkan gambaran negatif wanita Jepang itu sendiri. Geisha pernah diteliti antaralain oleh Ida Anggraeni Ananda (1994). Kajian ini menyimpulkan bahwa sesungguhnya geisha sebagai agen seni tidak sama dengan wanita penghibur yang lain. Seorang geisha asli adalah wanita Jepang
yang berbakat dan berkemampuan lebih dalam bidang seni, moral dan intelektual dengan aktivitas yang terpola dan terkonsep. Pandangan bahwa geisha adalah wanita penghibur adalah salah karena geisha menghibur melalui seni dan penampilan keduanya berbeda. Geisha di masa lampau di samping berfungsi menghibur para pria dengan menampilkan banyak seni dan juga menjadi teman bercakap-cakap. Hal ini terjadi karena para istri masa lampau tidaklah dianggap sebagai makhluk sejajar yang dapat menjadi teman bicara bagi suaminya. Ketika konsep kesetaraan mulai memasuki pemikiran orang Jepang, geisha menjadi langka dan hanya ditampilkan pada saat-saat tertentu. Sebagai kesimpulan, kajian ini memandang positif potret seorang geisha. Meskipun demikian, yang ideal dan bernilai pada diri geisha dapat saja bergeser pada tataran permukaan saja sehingga yang berkembang di masyarakat, geisha adalah juga wanita penghibur seksual. Mungkin benar bila dikatakan tidak ada yang menjamin apakah seorang geisha yang hidup dalam dunia hiburan dengan jaman yang semakin berubah akan tetap kukuh dalam kegeishaannya yang asli. Buku Memoar Seorang Geisha dari Golden (2002) menggambarkan bahwa geisha tidak hanya seperti yang ideal di atas. Seorang geisha harus mengorbankan harga dirinya dalam hidup sebagai penghibur. Satu kemungkinan, geisha pada jamannya memang figur ideal dan dibutuhkan masyarakat karena konsepnya yang masih murni (ideal). Akan tetapi setelah berkembang di masyarakat akan muncul semacam tingkatan dalam konteks nilai wanita tersebut sebagai penghibur. Oleh karena itu, dimungkinkan ada geisha mulai dari yang berkualifikasi dalam konsep asli, murni geisha sebagaimana ideal di jamannya, sampai yang berkualifikasi sejenis wanita penghibur. Meskipun demikian dapat disimpulkan profesi mereka sama-sama berada dalam peran sebagai penghibur para pria. Oleh karenanya, tidak aneh sinyalemen Kartini-Kartono yang mengatakan bahwa ada kecenderungan umum kaum wanita banyak dijadikan budak nafsu biologis para pria, baik dalam fungsi prokreatif (melahirkan anak) maupun dalam fungsi “hiburan” (Kartini-Kartono, 1986:2). Jugun ianfu, merupakan salah satu tema yang menarik perhatian di antara sekian banyak tema yang mengganggu rasa keadilan dan perghargaan harkat kemanusiaan khususnya wanita. Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam dan melukai kelompok bangsa lain (Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, 1998). Jugun ianfu adalah sebutan untuk perempuan-perempuan Asia, khususnya, yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukan tentara Jepang sekitar Perang Dunia II dan dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang (confort women). Perempuan-perempuan ini direkrut pada usia yang
sangat muda dengan dijanjikan untuk meneruskan belajar di negeri Jepang atau dengan alasan untuk menjadi penyanyi atau penari. Secara sederhana, perempuan-perempuan belia ini terbuai oleh iming-iming pemerintah Jepang atau dalam kasus tertentu dipaksa oleh orang tua mereka yang pada waktu itu harus tunduk pada pemerintah pendudukan tentara Jepang. Tentara pendudukan yang memaksa daerah pendudukan untuk mengikuti aturan yang dibuat penjajah itu sudah biasa dilakukan. Penduduk pribumi yang takut terhadap penjajah itu juga biasa. Penjajah memang pada dasarnya ingin mengeruk segala keuntungan, biasanya hasil bumi, dari negara yang dijajah. Oleh karenanya maka tindakan-tindakan pemaksaan sering dilakukan untuk mencapai tujuannya. Lebih dari itu, arogansi dan superioritas bangsa penjajah tidak hanya berimbas pada pemaksaan untuk tujuan material. Karena bangsa penjajah -kebanyakan tentara - tidak banyak membawa para wanita istri-istri mereka sedangkan kegiatan seksual merupakan salah satu kebutuhan manusia, maka sangat mungkin di daerah pendudukan ditemukan tentara yang memanfaatkan wanita pribumi untuk dijadikan istri, memanfatkan rumah pelacuran, atau
bahkan melakukan pemaksaan terhadap wanita untuk pelampiasan nafsu. Kondisi daerah konflik dikatakan rentan terhadap tindak kekerasan seksual, perkosaan dan sejenisnya (Wiwik Setyawati dalam Achie Sudiarti Luluhima, 2000:169). Ditemukan adanya banyak kasus tentara pendudukan melakukan perkosaan terhadap wanita pribumi. Korban perkosaan oleh tentara atau sipil pada wanita pada masa perang terjadi sepanjang sejarah. Bahkan hampir keseluruhan keberadaan tentara di daerah konflik diwarnai noda perkosaan (Apong Herlina dalam http://www.korea-np.co). Begitu pula yang terjadi pada pemerintah pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Hanya saja yang terjadi, tentara Jepang bahkan mengoperasikan dan mengatur keseluruhan kebutuhan akan hal tersebut
dengan mendirikan pusat-pusat pelacuran (comfort station). Perekutannya pun dengan kekerasan kekuasaan militer yang penuh intimidasi (http://www.mofa.go.jp). Dari sini terlihat bahwa kebutuhan biologis seksual manusia -tentara Jepang- bahkan harus dipenuhi dengan cara apapun. Karena dalam hal ini tentara pendudukan yang berkuasa, maka secara resmi pula hal tersebut dipenuhi dengan komando militer yang langsung berhubungan dengan pemerintah Jepang. Hal ini bisa dibuktikan dengan telah ditemukannya dokumendokumen berkaitan dengan perintah perekrutan dan pendirian comfort station (Apong Herlina dalam http://www.korea-np.co.jp). Maka sudah selayaknya bila kemudian muncul tuntutan dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat atau setidaknya himbauan moral secara internasional dari Mahkamah Internasional agar pemerintah Jepang mengakui hal itu sebagai kesalahan formal pemerintah Jepang. Oleh karenanya, pemerintah Jepang diminta untuk mengajukan permohonan maaf baik secara formal maupun individual, memberikan kompensasi dan memulihkan harga diri para mantan jugun ianfu. Reaksi yang kemudian muncul ternyata tidak memunculkan aksi sebagaimana yang diharapkan para penuntut ini. Bahkan pemerintah Indonesia sebagai pihak bangsa yang ikut menderita sebagai akibat peristiwa itu nampaknya belum merespon masalah ini sebagai hal yang harus diselesaikan secara kenegaraan. Ketidakpedulian terhadap masalah ini antara lain didasari oleh pemikiran bahwa kasus jugun ianfu merupakan masalah aib yang harus ditutupi rapat-rapat. Di tengah masyarakat bahkan mantan jugun ianfu ini harus menerima tatapan sinis, sindiran dan perlakuan massa yang menghakimi (Juliani Wahjana dalam Suara Perempuan Radio Nederlands 17, 24, dan 31 Desember 2001). Nasibnya seperti halnya kasus pelecehan atau perkosaan yang terjadi di masyarakat yang tidak banyak dilaporkan ke polisi karena dianggap sebagai aib keluarga yang akan mencemarkan bila diketahui umum. Ada perasaan malu di dalamnya, meskipun dirasa sebagai ketidakadilan. Atas argumentasi semacam ini, maka dengan dalih melindungi martabat wanita Indonesia, pemerintah Indonesia (semasa Orde Baru) menolak uang kompensasi yang diurus Asia Women’s Funds, sebuah lembaga swasta yang mengurusi ganti rugi mantan jugun ianfu). Sebagai gantinya Indonesia menerima “bantuan” yang diterima Departemen Sosial yang digunakan untuk membangun panti-panti sosial yang sedianya diperuntukkan bagi para mantan jugun ianfu ini. Meskipun disinyalir tidak ada mantan jugun ianfu yang memanfaatkan panti-panti sosial tersebut (http://www.gamma.co.id). Tidak kalah anehnya adalah tanggapan pemerintah Jepang. Menurut catatan Agus Susanto (Kompas, 13 Februari 2002), pemerintah Jepang menolak tuntutan pihak-pihak yang menginginkan permintaan maaf, kompensasi dan sebagainya yang juga diperjuangkan dalam bentuk RUU Perkembangan Pemecahan Masalah mengenai Korban Tindak Pemaksaan Seksual pada Masa Perang oleh Koalisi Partai Oposisi Jepang . Delegasi Partai Oposisi Tomiko
Okozaki yang pernah berkunjung ke Indonesia bahkan mengatakan bahwa pemerintah Jepang selalu mengatakan bahwa persoalan jugun ianfu telah selesai. Mereka berlindung pada Perjanjian San Fransisco dan Perdamaian Indonesia-Jepang pada 50 tahun lalu. Padahal perjanjian tersebut dibuat ketika masyarakat Jepang dan masyarakat internasional belum mengenal persoalan jender. Catatan dalam http://www.gamma.com menyebutkan bahwa kelompok sayap kanan, Uyoku, juga membela pemerintah Jepang seakan-akan pemerintah Jepang tidak pernah memaksa Mardiyem dan kawan-kawannya menjadi jugun ianfu. Jepang memang masih berusaha menolak mengakui hal tersebut sebagai kejahatan yang telah dilakukan meskipun Simposium Internasional untuk Wilayah Asia dengan tema “Menuntut Pertanggungjawaban Jepang Masa Lalu” di Pyongyang Korea Utara 31 Mei 2002 juga telah merekomendasikan untuk menuntut pemerintah Jepang meminta maaf secara formal dan individual langsung pada mara mantan jugun ianfu dan mengusulkan kompensasi. Jepang merupakan satu-satunya negara di dunia yang menyambut abad 21 dengan tidak menyelesaikan masalah masa lalunya, padahal Jepang telah melukai dan membunuh 10 juta manusia romusha dan menderitakan 200 ribu budak seks (jugun ianfu) (KR, 3 Juni 2002). Jugun ianfu sebagai fenomena sosial banyak dibahas baik di lingkungan nasional, regional Asia, maupun internasional. Pembahasan pada umumnya terfokus pada kajian hukum, hak asasi manusia, dan jender. Situs www.mofa.go.jp pernah memuat artikel dengan judul On the Issue of Wartime Comfort Women pada tanggal 4 Agustus 1993 dari Ministry of Foreign Affairs of Japan, Cabinet Counsellors’ Office on External Affairs. Radio Nederlands (Juliani Wahjana, 2000) juga pernah melakukan pembahasan masalah jugun ianfu ini dengan menghadirkan Mardiyem, seorang mantan jugun ianfu yang sampai sekarang masih aktif menggugat pemerintah Jepang bersama LBH Yogyakarta. Kajian ini juga memuat apa dan bagaimana kejadian tersebut, akibat-akibatnya bagi pribadi baik psikologis maupun sosial, juga usaha-usaha yang pernah ditempuh untuk menyelesaikan termasuk adanya seruan moral internasional. Demikian juga situs www.gamma.co.id memuat pengalaman Mardiyem dan perempuan lainnya, masalah kompensasi dan bantuan, dan sedang dibuatnya film tentang jugun ianfu ini oleh Kana Tomoko (BLU dan Seichi Okawa, 2001). International Symposium of China Comfort Women juga membahas makalah dengan judul Japanese Military Comfort Houses and Overseas China Comfort Women in South East Asia (Hayashi Hirofumi, 2000). Di dalam artikel ini termuat masalah rekrutmen yang memfungsikan aktivitas advertensi, kekuasaann pimpinan lokal dan penggunaan kekuatan, siapa yang direkrut dan jumlah, termasuk juga wanita Jepang yang dipaksa dibawa ke Malaysia dan Borneo. Meskipun sebatas cerita pengalaman dan penyelidikan di lapangan di Pulau Buru, Pramudya Ananta Tour juga mengkisahkan ditemukannya banyak wanita mantan jugun ianfu yang ditinggalkan tentara Jepang setelah Jepang menyerah dan hidup menderita karena tersesat dan diperistri kepala suku yang sangat kolot dan tradisional (Pramudya Ananta Toer, 2002). Situs www.fire.or.cr Desember 2001, witness.peacenet.or.kr juga membahas sekitar tuntutan tanggung jawab Jepang akan masalah tersebut. KR 3 Juni 2002 (Don, 2002), Kompas 13 Februari 2002 (Agus Susanto, 202), KR 1 Mei 2002 (Eddy Hasby, 2002) memuat tulisan tentang perlunya penyelesaian masalah terutama tuntutan terhadap pemerintah Jepang sebagai hasil simposium internasional di Pyongyang 2002, desakan Partai Oposisi Jepang dan juga tentang usulan LBH Yogyakarta untuk memasukkan materi jugun ianfu sebagai tambahan isi kurikulum nasional. Secara lebih argumentatif Apong Herlina, sebagaimana dimuat dalam situs www.koreanp.co.jp mengungkap fenomena pelik ini termasuk informasi tentang adanya tim investigasi Jepang dalam mencari kebenaran akan hal tersebut. Tidak keluar dari visi sebuah lembaga bantuan hukum, dalam artikel ini juga ditulis kesimpulan argumentasif penyelesaian pertanggungjawaban pemerintah Jepang dan kompensasi terhadap perburuhan, tenaga kerja dan perkosaan tentara Jepang di koloni Indonesia.
Ditemukan kajian dan penelitian tentang jugun ianfu pada perpustakaan Pusat Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Yang pertama dari Budi Hartono dan Dadang Yuliantoro (1997) dengan judul tulisan Derita Paksa Perempuan Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang 1942- 1945. Di dalam kajian ini dibicarakan kisah hidup para jugun ianfu sekitar masa pendudukan Jepang. Mendasarkan pada kajian ini selanjutnya diteliti tentang dampak baik fisik maupun psikis akibat kekerasan seksual tersebut. Lucia Juningsih tahun 1997 meneliti dampak kekerasan ini pada para mantan jugun ianfu di wilayah Yogyakarta. Di samping diteliti dampak fisik dan psikisnya, juga diteliti respon lingkungan dan strategi para mantan jugun ianfu tersebut dalam menghadapi hambatan sosial dalam pergaulan di masyarakat (Lucia Juningsih, 1999). Secara kultural suatu peristiwa (budaya) merupakan akibat dari akumulasi pemahaman masyarakat akan budayanya. Dimungkinkan adanya hubungan antara peristiwa munculnya jugun ianfu dengan peristiwa atau perilaku sejenis misalnya bagaimana masyarakat Jepang memposisikan wanita itu sendiri. Sebagaimana budaya patriarkhi yang lain yang memandang wanita sebagai makhluk yang lemah sehingga kaum pria mempunyai kekuasaan besar dan menentukan nasib kaum wanita (Lucia Juningsih, 1999:7), budaya Jepang tidak lepas dari konsep tersebut. Budaya kaum samurai yang berurat berakat pada masyarakat Jepang menunjukkan hal tersebut. Di dalam The Hagakure: A Code to the Way of Samurai (Yamamoto Tsunetomo,1980) disebutkan sebagai berikut. Di dalam dunia samurai yang merupakan cikal bakal tentara Jepang, berlaku etiket hubungan wanita-pria sebagaimana hubungan rakyat dengan raja. Pertama-tama, seorang istri harus berpikir bahwa suaminya adalah sebagai rajanya. Dengan kata lain istri harus menganggap rajanya di atas segala yang lain (Yamamoto Tsunetomo, 1980:16). Ada kesan bahwa istri atau wanita umumnya adalah makhluk rendahan yang harus tunduk dan patuh pada kehendak raja, tuan, laki laki. Hal ini juga bisa dilihat dari perilaku permisifnya wanita Jepang yang dapat dilihat pada kedudukannya di rumah tangga. Penelitian tentang budaya pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat Jepang atau yang dilakukan orang Jepang di negara lain juga menunjukkan keterkaitan dengan budaya merendahkan wanita ini (lihat Sartini, 2001). Dan yang terakhir paparan yang berupa memoar dari seorang geisha menunjukkan bagaimana pihak wanita menjadi semacam komoditi bagi pria Jepang (Golden, 2002). Dengan mendasarkan pada munculnya peristiwa jugun ianfu, fenomena geisha, pelecehan seksual dan kedudukan wanita di rumah tangga dan di masyarakat maka dimungkinkan adanya benang merah yang menghubungkan antar peristiwa. Tentu saja sebagai letupan-letupan budaya ada faktor filosofis kultural yang memberi inspirasi bagi munculnya peristiwa-peristiwa tersebut. Satu aspek yang paling mungkin adalah pernah adanya konsep religius dalam bentuk ajaran etis filosofis maupun ritual yang kemudian berkembang menjadi bentuk tindakan masyarakat yang tidak disadari dan ternyata menyimpang dari kelaziman predikat yang semestinya melekat. Masalahnya, bagaimana hal tersebut dapat dipahami secara teoritis.

KEMUNGKINAN TEORITIS PERGESERAN PEMAHAMAN RELIGI
Religi, dari bahasa Inggris religion, sering juga diartikan dengan agama, dipahami dengan makna percaya pada Tuhan, kekuatan supranatural atau kehidupan akhirat. Khusus istilah agama, biasanya mengacu pada sebutan agamaagama besar dunia seperti Hindu, Budha atau Islam (Pals, 2001:15). Akan tetapi dalam kontek Jepang religi dapat lebih bersifat umum. Religi lebih bersifat umum, dapat dikonotasikan dengan istilah-istilah lain yang dekat seperti: Tuhan, dewa, malaikat, wahyu, roh, puasa, monoteisme, mistik, totemisme, tabu, sakral, kudus, duniawi. Kata-kata tersebut mempunyai persamaan dengan istilah bovennatuurlijk (gaib), yang mengandung nilai boven-natuur (di atas alam). Kata-kata tersebut ada hubungannya dengan hal-hal yang tidak dapat diamati melalui persepsi normal. Oleh karenanya, religi termasuk semua yang berkaitan dengan kenyataan yang tidak dapat ditentukan secara empiris dan semua gagasan tentang perbuatan yang bersifat dugaan dan hal tersebut dianggap benar. Magi dan ramalan yang ada di masyarakat termasuk di dalamnya (Baal, 1987: 32, 34). Religi Jepang menunjukkan banyak hal dan tidak selalu mengarah pada lembaga agama yang besar. Religi Jepang lebih mewujud dalam konteks kebudayaan secara luas sehingga wujud kepercayaan rakyat (sering disebut agama rakyat) menjadi sangat kental. Religi bagi bangsa Jepang secara khusus lebih mudah dipahami sebagai adanya kepercayaan kepada kekuatan supranatural dengan segenap konsekuensinya. Baal mengatakan bahwa religi pada umumnya yang merupakan gejala manusiawi dan juga sebagai kompleks gagasan yang muncul dalam kelompok manusia tertentu. Oleh karenanya religi selamanya seperti juga kebudayaan (dan religi merupakan bagian di dalamnya), terikat pada kelompok (Baal, 1987:34). Religi Jepang mempunyai kekhasan termasuk dala mperkembangan yang berbeda dengan perkembangan religi pada masyarakat lai nMenurut Geertz, agama menjadi menarik secara sosiologis karena agama begitu juga religi, tidak hanya akan menggambarkan tatanan sosial tertentu, meskipun kabur dan tidak lengkap, tetapi juga akan membentuk tatanan sosial seperti: lingkungan, kekuasaan politis, kesejahteraan, kewajiban hukum, afeksi personal, juga rasa akan keindahan (Geertz, 1992:41). Atas dasar pemahaman ini maka sangat mungkin peran lembaga-lembaga sosial di masyarakat akan ikutmenentukan perkembangan religi itu sendiri. Ini dapat dilihat pada kasus Jepang
ketika Shinto dan Budha sebagai religi menjadi satu asset politik yang digunakan untuk kepentingan tertentu. Shinto sebagai satu bentuk kepercayaan bangsa Jepang pernah menjadi penggalang patriotisme, satu pergeseran makna religi yang sifatnya sacral menjadi hanya berfungsi pada kepentingan profan, apalagi politis. Pandangan pragmatis bangsa Jepang (Sartini, 1998) juga menunjukkan bahwa agama lebih menjadi pendorong kesejahteraan hidup di dunia ini dan bukan menyuruh mereka berpikir tentang dunia lain. Oleh karena peran politik yang berkembang di Jepang nampak cukup menonjol, maka kebesaran pemimpin masyarakat juga menjadi hal yang krusial menentukan pergeseran makna religi ini. Munculnya satu religi baru ( dan dalam hal ini bahkan cukup subur pertumbuhna religi di Jepang) menurut Barbu, normalnya akan diikuti dengan munculnya kelompok sosial baru yang di dalamnya ada yang memprakarsai dan diprakarsai (Barbu,1971:64). Oleh karena kuatnya peran pemimpin di Jepang memungkinkan perubahan ini sehingga dalam kasus di atas, peran transenden religi dapat beralih lebih pada peran politik. Agama dan religi sebagai bagian dari masyarakat mempunyai andil yang signifikan dalam memberi dan membentuk corak masyarakat. Hendropuspita (1983:34), khusus dengan menyebut agama, mengatakan bahwa agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan yang bersifat non-empiris yang dipercayai dan didayagunakan dalam pencapaian keselamatan bagi diri dan juga masyarakat kelompoknya. Secara lebih tegas dijelaskan setidaknya keterkaitan antara agama dengan masyarakat dapat dilihat pada lima kategori fungsi: edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, pemupukan persaudaraan dan fungsi tranformatif (Hendropuspita, 1983:38-56). Dengan fungsi-fungsi ini agama dan religi akan hidup di masyarakat. Dalam kasus Jepang, fungsi-fungsi religi ini dapat dipertanyakan. Sejauh mana bentuk edukasi religi tetap mengalir dalam konteks nilai yang seharusnya. Fungsi penyelamatan mungkin harus diterjemahkan dalam dua sisi, duniawi dan non duniawi. Religi Jepang tida semuanya mengajarkan pentingnya memikirkan hidup setelah dunia ini. Fungsi persaudaraan dalam konteks sosial di Jepang bahkan mewujud dalam kepentingan politik. Fungsi transformatif sebagai media transfer nilai ada hanya saja kenyataannya nampak terjadi pergeseran sebagaimna diungkap sebagai latar belakang tulisan ini.Agama begitu juga religi akan hidup dalam masyarakat dan bergerak sesuai dengan fungsi-fungsinya dan bersinergi dengan fungsi masyarakat itu sendiri. Dengan demikian hidup religi dan hidup masyarakat akan berjalan sesuai dengan sejarahnya yang meliputi segala unsur yang sifatnya fisik dan non fisik bahkan yang supra natural. Kesemua unsur akan berjalan dalam fungsi kebudayaan yang merupakan wadah kreativitas manusia. Dawson mengatakan, kebudayaan adalah sekaligus pandangan hidup yang mendasari yang di dalamnya adalah tertib spiritual itu sendiri. Kebudayaan sebagai jalan hidup ini tidak terpisah dari tradisibahasa dan pikir serta pewarisan pengetahuan. Termasuk dalam hal ini adalah usaha-usaha terorganisasi dari kegiatan manusia dengan kekuatan ilahiah transenden yang mengatur dunia dan tempat manusia menggantungkan hidupnya. Faktor material dan spiritual saling memasuki secara sempurna dan tidak terpisahkan sehingga religi dan kehidupan menyatu. Oleh karenanya setiapkejadian dalam hidup dapat dikatakan sebagai bagian dari tradisi religius dan biasa ditanamkan dalam arti religius (Dawson,1959:197). Tampak di sini bahwafungsi-fungsi religi berjelan seiring sejarah dan perkembangan kebudayaan. Jalinm enjalin sehingga sulit dipisahkan mana peran religi yang ilahiah dan mana peran sosial politik yang duniawi. Oleh karena itu maka logis ketika satu pemahaman atas dasar religiusitas berkembang di dalam masyarakat dan menjadi sangat cultural. Mengalir begitu saja sepanjang sejarah hidup manusia. Dawson mengatakan, dalam banyak kasus tidak ada konflik terbuka dalam proses ini tetapi yang terjadi adalah suatu penyesuaian diri yang gradual dan hampir keseluruhannya tidak disadari hidup dalam tradisinya sampai akhirnya memunculkan suatu integrasi budaya yang baru (Dawson,1959:200). Hal ini tidak lepas dari fungsi-fungsi agama bagi manusia sebagaimana kategori religi di atas. Agama akan memberi makna spiritual bagi kehidupan manusia di samping aspek ajarannya akan tumbuh dan berkembang dalam kancah berbudaya manusia itu sendiri. Maka boleh jadi bangsa Jepang telah melewati satu proses religi yang panjang sehingga apa yang dulu kala dimungkinkan menjadi salah satu ritual religi yang bernilai ilahiah termanifestasikan sekarang menjadi perilaku dan tindakan masyarakat yang tidak disadari ternyata jauh menyimpang dari konteks religi yang sebenarnya suci.
DAFTAR PUSTAKA
Achie Sudiarti Luluhima,2000, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan
terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Alumni, Jakarta.
Baal, J. van, 1987, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropoligi Budaya Jilid I,
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
156
Gramedia, Jakarta.
Barbu, Zevedei, 1971, Society, Culture and Personality, Basil Blackwell, Oxford.
Benedict, Ruth, 1982, Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-Pola
Kebudayaan Jepang, Diindonesiakan: Pamudji, Sinar Harapan, Jakarta.
Budi Hartono, A. dan Dadang Yuliantoro, 1997, Derita Paksa Perempuan
Kisah Jugun Ianfu pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, P3PK
UGM, Yogyakarta.
Dawson, Christopher, 1959, Religion and Culture, Meridian Books INC., New
York.
Earhart, H. Byron, 1984, Religions of Japan, Harper & Row, San Fransisco.
Fukuzaha Yukichi, 1985, Di Antara Feodalisme dan Modernisme,
Diindonesiakan: Arifin Bey, Yayasan Kartika Sarana, Jakarta.
Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta.
Golden, Anton, 2002, Memoar Seorang Geisha, Gramedia, Jakarta.
Hendropuspita, D., 1983, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta.
Ida Anggraeni Ananda, 1994, “Potret Seorang Geisha: Kajian Filsafat
Keindahan” , Skripsi pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.
Inazo Nitobe, 1900, Bushido The Soul of Japan, Nihonbashi-ku, Tokyo.
Kartini Kartono, 1986, Psikologi Wanita Jilid II, Mandar Maju, Bandung.
Lucia Juningsih, 1999, Dampak Kekerasan Seksual pada Jugun Ianfu, Pusat
Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta.
Musa Asy’ari dkk, 1993, Alquran dan Pembinaan Budaya (Dialog dan
Transformasi, LESFI, Yogyakarta.
Pals, Daniel S., 2001, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik 7 Teori Agama, Ircisod,
Yogyakarta,
Pramudya Ananta Toer, 2002, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer,
KPG, Jakarta.
Robertson, Roland (ed), 1998, Agama dalam Nalisa dan Interpretasi Sosiologis,
Rajawali Press, Jakarta.
Sartini, 1998, “Makna Hidup Berkelompok pada Masyarakat Jepang”, Tesis pada
Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM, Yogyakarta.
Sartini, 2001, “Matrilinialitas dalam Masyarakat Paternalistik Jepang”, Laporan
Hasil Penelitian Lembaga Penelitian UGM, Yogyakarta.
Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, 1998, Orang Jepang di Koloni Asia
Tenggara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Singer, Kurt, 1990, Mirror, Sword and Jewel The Geometry of Japanese Life,
Kodansha International, Tokyo.
Yamamoto Tsunetomo, 1980, The Hagakure A Code to the Way of the Samurai,
translated by Takao Mukoh, The Hukoseido Press, Tokyo.
Sumber non-buku:
http: //www.korea-np.co
http: //www.mofa.go.jp
Sartini, Kontradiksi antara Geisha
157
http: //www.gamma.co.id
http: //www.fire.or.cr
http://witness.peacenet.or,kr
Juliani Wahjana,, Suara Perempuan Radio Nederlands, Desember 2001.
Kompas 13 Februari 2002
KR, 3 Juni 2002
Hayashi Hirofumi, 2000
KR, 1 Mei 2002

No comments:

Post a Comment