Pages

Saturday, 21 February 2009

History of A Geisha

Geisha dapat diartikan sebagai seniman/penghibur tradisional Jepang yang biasa menampilkan kesenian Jepang seperti tarian dan musik tradisional. Alat musik tradisional yang biasa dimainkan oleh Geisha diantaranya shamisen (sejenis gitar bersenar tiga), shakuhachi (seruling bambu), dan drum.


Selain itu Geisha juga menguasai kesenian-kesenian lain seperti lagu serta tarian tradisional Jepang, upacara minum teh, berbagai buku, dan puisi. Geisha muncul pertamakali pada abad ke-18 dan berkembang pesat sampai abad ke-19, meskipun pada jaman sekarang Geisha masih dapat dijumpai di Jepang, tetapi jumlahnya tidak banyak.
Geisha berasal dari “floating world”; merupakan jaman yang dipenuhi dengan tempat-tempat hiburan, kemudian semakin berkembang menjadi dunia Geisha yang disebut dengan karyukai atau “flower and willow world”. Munculnya tempat hiburan yang pertamakali tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Saburoemon sebagai panglima perang pada masa itu yang meminta dan mengijinkan pembangunan rumah pelacuran. Rumah pelacuran dibangun tidak jauh dari Imperial Palace (Istana Kekaisaran) di Kyoto; yang kemudian dikenal dengan nama Yanagimachi atau Willow Town.
Pada waktu itu area pelacuran sempat dipindahkan ke Shimabara karena hukum yang mengatur tentang prostitusi memberlakukan bahwa tempat-tempat hiburan harus berada pada tempat/daerah yang terpencil. Shimabara merupakan pulau tempat pesta-pora di mana seorang pria dapat dihibur sampai malam dengan tarif tertentu.
Para pelacur Shimabara dikenal kurang “available for the night” karena dengan harga yang tinggi maka tidak seorangpun dapat menyewa mereka. Ada beberapa pembagian dari para pelacur Shimabara: yang teratas disebut dengan Tayu, diikuti dengan Koshi dan Sancha, sedangkan yang berada di puncak hirarki sosial disebut dengan Hashi. Tayu dapat digambarkan sebagai pelacur yang berpenampilan sangat mewah dan seringkali memamerkan kemewahan pakaian mereka di depan para pelacur lain, serta bersikap sangat ekslusif ketika berada di tempat-tempat hiburan.
Kebanyakan dari area pelacuran tersebut didirikan dekat dengan kuil Shinto; mereka menawarkan teh dan menghibur para peziarah. Nama Ochaya (rumah teh) digunakan sebagai tempat bagi para wanita ini untuk menghibur, meskipun pada akhirnya minuman keras dengan cepat menggantikan teh pada sajian menunya. Gadis-gadis penari atau Odoroki sebagai penghibur sangat populer di daerah ini. Pada waktu itu dikenal pula keberadaan Geisha pria yang disebut dengan Taikomochi, merupakan Geisha pertamakali, tetapi keberadaan mereka semakin tergantikan oleh popularitas Geisha wanita. Taikomochi lebih tepat diartikan sebagai penghibur (komedian) pria.
Kaisar yang berkuasa pada saat itu melihat bahwa telah terjadi perubahan trend (kebiasaan) dan akhirnya menjadi suatu kepastian bahwa rumah teh diijinkan untuk dijadikan sebagai tempat hiburan. Geisha (governing Giesha) membuat hukum/aturan yang mengatur tentang layanan yang ditawarkan dan juga cara berpakaian seorang Geisha. Dengan jalan tersebut Geisha diharapkan untuk melayani dengan cara yang berbeda dengan para pelacur biasa yang lebih berhubungan dengan kegiatan prostitusi daripada sekedar menggunakan pakaian seperti golongan Tayu. Hal ini mengakibatkan munculnya kimono dan tatanan rambut yang sederhana bagi Geisha; di mana merupakan suatu peristiwa yang menunjukkan bahwa kecantikan lebih diutamakan daripada kemewahan.
Dalam hidupnya, Geisha belajar berbagai macam seni, tidak hanya digunakan untuk menghibur tamu Ochaya tetapi juga untuk kehidupan mereka sendiri. Kawasan yang diijinkan untuk pada Geisha, tumbuh pertamakali di Gion dan kemudian menyebar ke Hanamachi (wilayah Geisha, bagian kota di mana Okiya dan Ochaya berada) lain di seluruh Jepang. Okiya merupakan sebutan untuk rumah Geisha di mana Geiko dan Maiko tinggal. Geiko berarti Geisha itu sendiri, sedangkan Maiko berarti Giesha yang sedang dalam masa pelatihan dalam Hanamachi di Kyoto. Okiya biasanya membawa gadis-gadis yang kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu dan kemudian melatih mereka menjadi seorang Geisha. Pada masa kanak-kanak, Geisha seringkali bekerja sebagai pembantu, kemudian dilanjutkan sebagai Maiko (Geisha pemula) selama masa pelatihan.
Berikut merupakan tahapan-tahapan dari kehidupan seorang Geisha:
1. Shikomi: ketika seorang gadis masih kanak-kanak dan tinggal di Okiya maka dia akan disebut sebagai Shikomi. Shikomi merupakan ’tahapan perbudakan’ di mana anak-anak gadis bekerja berat sebagai pelayan/pembantu di Okiya; membersihkan rumah, diperlakukan sebagai pesuruh, dan lainnya. Selama tahap ini mereka tetap harus menempuh pendidikan di Sekolah Geisha yang berada di Hanamachi.
Ritual yang dijalankan di antara tahapan Shikomi dengan Minarai:
* Misedashi: ketika seorang gadis menjadi seorang Maiko, dia harus mencari seorang Onesan (Geisha yang lebih berpengalaman untuk menjadi pelatih dan penasihatnya). Geisha tersebut tidak harus berasal dari Okiya yang sama. Ritual Misedashi merupakan pemunculan/pertunjukkan Maiko yang pertamakalinya, dan banyak keriuhan di dalam upacara itu. Para fans dan spanduk yang berhubungan dengan kaligrafi dan nama Maiko yang baru biasanya dikeluarkan oleh pelindungnya dan anggota lain Hanamachi. Untuk mengikat Maiko dengan Onesan-nya, diperlukan ritual san san kudo, biasanya di tempat umum seperti Kaburenjo (tempat pertemuan untuk tiap Hanamchi, biasanya di dalamnya terdapat teater, kantor, dan sekolah Geisha) dan disertai dengan mengadakan pesta.
2. Minarai: setelah mereka menjadi ahli dalam hal seni-seni Geisha dan lulus ujian (berupa tarian yang rumit) maka mereka akan dipromosikan ke tahap ke-dua yaitu Minarai. Tahap Minarai ini membebaskan seorang Maiko untuk bekerja sebagai pembantu. Dengan melakukan ritual Misedashi, seorang Maiko sekarang menjadi anggota umum komunitas Geisha, tetapi belum cukup mendapatkan pelatihan untuk menghibur. Hal tersebut menjadi tanggungjawab Onesan untuk membawanya ke dalam Ozashiki (“Tatami room”; pesta atau jamuan makan, sebuah istilah yang digunakan Geisha untuk mengartikan suatu janji), di mana Maiko akan duduk sambil mengamati Geisha yang lebih berpengalaman saat bekerja. Dengan cara ini, Maiko akan belajar menjadi seorang Geisha, dikenalkan dengan para calon klien-nya dan diperlihatkan pada publik meskipun sedang dalam masa pelatihan. Pada masa ini, dan selama menjadi Maiko, ia akan mengikuti kelas-kelas seni di Kaburenjo, meskipun ia tetap mengikuti sekolah formal.
Ritual yang dijalankan di antara tahapan Minarai dengan Okami-san:
* Mizuage: berarti keperawanan Maiko akan dijual kepada seorang klien, meskipun hukum prostitusi Jepang kini melarangnya.
* Perubahan Chignon (hairstyle): ada lima macam tatanan rambut yang harus dikenakan oleh Maiko sebagai tanda tahapan yang sudah dipelajarinya.
* Erikae: perubahan kerah pakaian. Ini merupakan upacara ketika Maiko telah menjadi Geiko. Pada tahap ini ia akan mengganti kimononya dari furisode (”swinging sleeve”; kimono berlengan kupu-kupu, merupakan kimono dengan lengan panjang untuk gadis yang belum dewasa) menjadi kosode, dan mengganti kerah pakaiannya dari warna merah menjadi putih. Semenjak itu ia harus berpakaian dan bersikap lebih seperti wanita dewasa di mana perubahan warna kerah kimono berarti menunjukkan tingkat kedewasaannya.
* San san kudo: merupakan ritual minum dari cangkir sake, tiga isapan dari masing-masing tiga cangkir. Seperti ritual Misedashi, San san kudo ditampilkan saat Geiko mendapatkan seorang Danna (pelindung Geisha yang menyokong keuangan dan berhubungan khusus dengannya; lebih mengarah ke aktivitas seksual tetapi bukan suatu keharusan). Danna biasanya adalah seorang pria kaya, kadang-kadang sudah memiliki istri.
* Hiki-iwai: merupakan perayaan yang di adakan ketika seorang Geisha pensiun/beristirahat dari dunia hiburan. Dewasa ini, perayaan tersebut dapat berarti banyak hal, yaitu ia pensiun secara resmi kemudian menikah atau menjadi seorang Okami-san.
3. Okami-san: merupakan wanita pemilik sebuah Ochaya atau Okiya. Profesi ini umum untuk Geisha yang sudah pensiun untuk mendidik Geisha lain, membesarkan anak, dan atau mengerjakan profesi lain yang diperuntukkan bagi wanita separuh baya di Jepang. Biasanya seorang Geisha akan menyatakan dirinya pensiun setelah memutuskan untuk menikah.
Golongan Tayu semakin lama semakin kehilangan popularitas dan sekarang sudah tidak ditemukan keberadaan Tayu sepanjang hari penuh. Meskipun ada beberapa wanita yang mempertahankan tradisi dengan cara hanya mengadakan pertunjukan di waktu siang hari.
Dengan demikian, lewat keberadaan Geisha kemudian dikenal adanya lambang/contoh high fashion, yang biasanya merupakan para pelopor berbagai trend baru dan memiliki kebiasaan Iki (simplistic chic; cantik-sederhana, gaya dari fashion Geisha). Hal tersebut membuat mereka terlalu disakralkan serta dengan jumlah Geisha yang semakin berkurang membuat mereka tidak dapat terjangkau oleh pria kelas menengah. Semenjak kebudayaan barat menguasai Jepang, Geisha bukan lagi sebagai wanita penghibur/seniman yang mempunyai high fashion tetapi sebagai pemegang kebudayaan tradisional.
Perang Dunia II merupakan hal utama yang merubah kehidupan Geisha. Hukum baru tentang prostitusi dan gadis-gadis penghibur mengatur bahwa para gadis tidak lagi bisa dijual oleh keluarganya untuk menjadi seorang Geisha, juga melarang transaksi jual-beli keperawanan Maiko. Hal itu mengakibatkan hilangnya upacara tradisional Mizuage yang dilakukan pada masa lalu. Mizuage berarti ”the flowing of the waters” atau upacara yang diadakan ketika seorang Maiko kehilangan keperawanannya.
Pada jaman dahulu, anak-anak perempuan dari seorang Geisha juga akan tumbuh menjadi Geisha, biasanya sebagai seorang penerus/pewaris (Atotori) atau tetap sebagai anak perempuan (musume-bun) di Okiya. Kini kehidupan Geisha sangatlah berbeda, gadis-gadis yang menjadi seorang Geisha dilakukan berdasarkan keinginannya sendiri dan seringkali hanya bertahan sampai mereka menikah. Seorang gadis yang ingin menjadi Geisha, kini diharuskan untuk menempuh seluruh pendidikan formal bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Seiring dengan perkembangan dunia modern, pertumbuhan Geisha cenderung lambat dan Hanamachi semakin jarang ditemui pada saat ini.

No comments:

Post a Comment