Pages

Friday, 20 February 2009

MEMBANGUN POLITIK TEKNOLOGI

oleh : Suharta (Staf.Div. Kajian Strategis KAMMI Daerah Bandung, mahasiswa semester 7 Institut Teknologi Bandung)
“Negara miskin dan berkembang membutuhkan dukungan besar sains dan teknologi jika mereka ingin bersaing dengan negara kaya,”
(Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Konverensi Pengambangan dan Perdagangan)
Pada tahun 1945 Indonesia menjadi negara yang merdeka. Meskipun masih dalam keadaan porak poranda akibat dari penjajahan Jepang dan efek perang dunia ke-2, Indonesia telah memiliki modal pembangunan berupa sumber daya alam yang melimpah.

Masih pada tahun 1945 juga, Jepang sebagai negara yang kalah perang lebih porak-poranda daripada Indonesia. Apalagi mengingat kota Hiroshima dan Nagasaki yang luluh-lantak di bom atom oleh tentara sekutu. Berbeda dengan Indonesia, Jepang tidak dikaruniai sumber daya alam yang melimpah.
Kini, 61 tahun telah berlalu. Jepang telah menjadi salah satu negara maju dunia dari sisi ekonomi. Namun, hal yang terbalik terjadi di Indonesia. Menurut laporan yang berjudul Making the New Indonesia Work for the Poor yang diterbitkan Kamis (7/12/2006), Bank Dunia menilai, meski telah mengalami kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi, saat ini hampir separuh warga Indonesia terpaksa hidup miskin. Bank Dunia mencatat hampir 50% atau 100 juta penduduk Indonesia saat ini berpenghasilan di bawah US$2 atau kurang dari Rp18.000 per hari.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu faktor kebangkitan Jepang sebagai raksasa ekonomi dunia. Kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukan hubungan yang signifikan. Di Jepang, misalnya, pertumbuhan ekonomi sebanyak 55% dikontribusi oleh teknologi, sedangkan modal dan tenaga kerja masing-masing berkontribusi hanya 40% dan 5%. (Mulyono, 2003).

Indonesia bukannya mengesampingkan begitu saja teknologi sebagai tulang punggung pembangunan. Sejak Habibie diangkat sebagai Menristek bersamaan dengan berdirnya BPPT, teknologi telah menjadi sebuah komoditas politik. Habibie membangun tekno-struktur nasional yang berkaitan dengan humanware (SDM Iptek), orgaware (lembaga Iptek), technoware (perangkat Iptek), infoware (informasi Iptek), dan culture (budaya Iptek).
Relasi politik Soeharto-Habibie telah melahirkan politik teknologi. Pada satu sisi, Habibie mendapatkan otoritas tinggi dalam membuat kebijakan teknologinya. Sedangkan di sisi lain, Soeharto mendapatkan legitimasi dari Habibie sebagai ahli teknologi terkemuka dalam menjaga kesinambungan kekuasaan rezim orde baru. (Sulfikar Amir, 2005)
HABIBIENOMIC'S

Kebijakan teknologi Habibie yang terlalu hi-tech mendapatkan kritikan tajam para ekonom, karena industri strategis yang dibangunnya tidak mengakar dan meloncat terlalu jauh. Puncaknya ketika IMF masuk ke Indonesia saat krisis moneter tahun 1997, Industri teknologi Habibie terkena imbasnya. Program reformasi ekonomi ala IMF akhirnya memangkas subsidi industri teknologi nasional yang dianggap memberatkan APBN. IPTN adalah salah satu korban program reformasi ekonomi IMF.
Kini di zaman reformasi, ahli ekonomi yang berperan dalam kebijakan pemerintah hanya bermain fiskal dan moneter saja. Teknologi menjadi hal yang tidak dilirik lagi. Hal-hal yang bersifat fundamental dalam pemulihan ekonomi nasional tidak bangun sejak awal reformasi. Akhirnya Indonesia akan menjadi bulan-bulanan kapitalisme global di era perdagangan bebas.
Kalau memang kebijakan teknologi Habibie dikritik karena terlalu hi-tech, maka yang kemudian harus dibangun adalah industri strategis teknologi yang lebih mengakar dan menyentuh kehidupan masyarakat banyak.
Sebagai contoh dalam kasus kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah lebih senang mengutak-atik besaran subsisdi BBM pada APBN daripada bagaimana memikirkan dan membuat kebijakan membangun teknologi transportasi dan energi yang tidak bergantung pada minyak bumi. Sehingga kenaikan harga minyak bumi dunia tidak terlalu mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Di negara maju seperti Jepang, pemerintahnya membuat banyak alat transportasi masal dengan tenaga listrik yang berasal dari energi nuklir (PLTN). Sehingga kenaikan harga minyak dunia tidak terlalu mempengaruhi harga barang-barang dan biaya transportasi angkutan masal. Berbeda dengan Indonesia yang alat-alat transportasi dan pembangkit tenaga listrik yang masih didominasi energi BBM.

PERAN SWASTA
Pada industri teknologi global telah terjadi perubahan paradigma dari perusahaan sebagai tempat untuk memproduksi barang menjadi tempat untuk berpikir. Kini, jarak penemuan ilmu baru dan aplikasinya dalam teknologi semakin pendek.
Sektor swasta adalah hal yang harus diperhatikan dalam politik teknologi. Kemajuan teknologi saat ini tak lepas dari kompetisi teknologi antar perusahaan. Porsi R&D pada perusahaan teknologi internasional cukup tinggi. Bahkan anggaran riset perusahaan IBM lebih tinggi daripada anggaran riset negara Indonesia.

Trend yang berkembang di Indonesia adalah masih dominannya riset di lembaga pemerintah atau universitas. Sementara perusahaan swasta dengan produk padat teknologi masih mengandalkan lisensi atau hanya berperan sebagai tempat perakitan saja. Padahal dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, Indonesia adalah sebuah pasar besar untuk produk-produk teknologi. Di tengah meningkatnya pertumbuhan pasar elektronika dan otomotif dalam negeri, Indonesia hanya menjadi penonton saja melihat dominasi produk asing di pasar dalam negeri.
Disini perlu adanya kemitraan antara pemerintah, universitas, dan swasta dalam hal riset untuk memajukan industri teknologi Indonesia. Pemerintah perlu memberikan insentif untuk swasta yang sudah melakukan R&D teknologi, karena telah mengurangi beban anggaran pemerintah untuk riset Iptek. Hal ini akan meningkatkan kemakmuran bangsa, seperti perkataan Ibnu Khaldun tentang peradaban : “Industri akan tumbuh seiring dengan semakin meningkatnya kemakmuran. Dan industri akan tumbuh jika permintaan bertambah. Jika peradaban dalam suatu tempat berkembang akan berkembang pula industri di dalamnya”.
SAATNYA POLITIK TEKNOLOGI
Sementara para ekonom liberal telah gagal menjadi problem solver krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Keterlibatan para ilmuwan dan ahli teknologi lebih luas dalam permasalahan sosial ekonomi bisa menjadi terobosan penyelesaian krisis.
Perlu disadari bahwa permasalahan energi, pertanian, kelautan, pertambangan, transportasi, militer, kesehatan, informasi, dan komunikasi yang merupakan permasalahan fundamental bangsa ini akan bermuara pada permasalahan teknologi.
Dunia politik yang penuh konflik bukanlah hal menyenangkan bagi para ilmuwan dan ahli teknologi dibandingkan dunia laboratorium yang lebih nyaman untuk rekreasi intelektual. Oleh karena itu perlu dibangun jembatan kekuatan Iptek dan kekuatan politik para ilmuwan dan ahli teknologi.
Sebagai penyangga politik teknologi adalah iman dan takwa (Imtak). Kerusakan politik yang terjadi saat ini terutama dalam hal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) disebabkan kurangnya iman dan takwa. Kekuatan Iptek dan Imtak merupakan hal yang harus dibangun beriringan.

Politik teknologi bukan sekedar hubungan pemerintah dengan ilmuwan ahli teknologi saja. Hubungan ini terlalu sempit karena seakan-akan politik teknologi hanyalah sekedar alat bagi ilmuwan dan ahli teknologi untuk mendapatkan sumber daya politik dan ekonomi dari pemerintah. Politik teknologi kemudian harus melibatkan juga masyarakat luas, LSM think thank, ekonom, sosiolog, agamawan, dan budayawan sehingga menjadi lebih rasional. Hal ini akan menjadikan Iptek bukanlah menara gading yang tidak menyentuh bumi. Politik teknologi akan membuat ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih memasyarakat.

Teknologi yang dibangun adalah sesuai konteks kebutuhan masyarakat Indonesia. Sebagai negara agraris dan maritim, maka pengembangan agroindustri dan industri kelautan sebuah hal yang sangat potensial dan rasional. Sedangkan untuk jangka panjang pengembangan Iptek akan tertuju pada hi-tech dengan nilai tambah sangat tinggi yaitu bioteknologi, nanoteknologi, dan teknologi informasi dan komunikasi. (tata)

No comments:

Post a Comment