Sesudah sholat shubuh itu kami minum kopi, dengan goreng pisang dan ketan. Waktu yang sangat kurindukan selama ini. Terlihat mereka sudah tua, tetapi mereka sangat bahagia pagi ini. Kemudian, seperti dulu, Bapak dan Mak, bercerita.
“Bagitulah Mak, aku di rantau.”
“Tetapi mengapa cucuku tidak Waang bawa pulang.”
“Mereka belum libur Mak, karena itu aku ingin Mak dan Bapak tinggal bersama kami.”
“Kami ingin mengahabiskan hari tua kami di sini, rasanya badan ini tidak kuat lagi untuk berpergian, “ kata Bapak.
Mereka selalu menolak, untuk kubawa ke rantau. Aku sudah kehabisan akal untuk membujuknya. Padahal, di kampung ini tidak ada yang dapat diharapkan lagi. Semua harta pusaka sudah terjual, mereka tinggal pun di rumah sewaan. Bapak mengisi hari-harinya dengan menjual rokok di simpang jalan. Adapun untuk biaya hidup dan sewa rumah, aku kirim dari rantau tiap bulan. Aku pikir mereka lebih baik bersama kami, namun mereka selalu menolak.
“Kami mencintai negeri ini, karena itu kami ingin menghabiskan masa tua kami di sini,” selalu begitu yang diucapkan Mak. Ngilu rasanya kalimat seperti itu di telingaku. Aku tidak mengerti, bagaimana mencintai negeri yang sudah jadi kota ini, dengan tanah dan harta pusaka sudah terjual semua. Kalaupun akan mati nanti tentu akan dikuburkankan di tanah yang juga akan disewa dari tahun ke tahun, jika tidak, kuburan itu akan dihilangkan.
Mengenang tentang tanah, harta pusaka, membuat keindahan sesudah shubuh ini menjadi buyar. Semua kejadian masa lalu hadir di depan mata kembali. Jelas, bagaimana air mataku menetes jatuh ke mata pisau yang sedang aku asa. Pisau sakin itu mengkilat. Rasa sakit hatiku, rasanya menyatu dengan besi mengkilat itu.
“Jangan Waang tumpahkan pula darah, aku mohon,” kata Mak.
“Aku dipermalunya didepan orang ramai Mak….”
“Waang akan masuk penjara, aku mohon, jangan, biarlah Tuhan membalasnya.”
“Semua harta pusaka sudah dijualnya, sekarang tapak rumah mau dijualnya… apakah kita akan masih diam Mak!”
Mak terdiam.
Tiba-tiba tanganku dipegang erat oleh Bapak, dan pisau itu dirampasnya. Kakiku disapunya, dan aku terguling.
“Ini pisauku, Waang tidak berhak mempergunakannya.”
Bapak duduk di sudut dapur dan menyimpan pisau itu ke dalam saku bajunya.
Besok paginya, setelah minum pagi, aku memutuskan.
“Akan pergi Waang?”
“Ya Pak, ke mana muka ini akan dihadapkan, kemana akan berdiri, kemana akan duduk, kalau aku masih di negeri ini.”
“Aku tidak punya apa-apa untuk kuberikan sebagai bekal…..kecuali ini.’
Lama aku menatap apa yang diberikannya kepadaku.
“Ambillah, sekarang jadi hakmu…hanya sebuah simbol tentang harga diri.”
Aku ambil pisau itu dari tangannya, dan dua lagi, pena dan jam tangan.
“Waang tahu apa arti ketiga benda itu?”
“Tidak”
“Jangan lihat zahirnya, ini hanya simbol, lihat batinnya, pertama harga diri tetapi hati-hati dengan pisau dalam dirimu sediri, kedua pengetahuan, ketiga waktu. Pergunakanlah pada setiap langkah Waang di alam takambang ini, karena pada intinya ketiganya adalah pisau yang siap akan menikam diri sendiri, jika Waang tak hati-hati”.
Kutinggalkan negeri itu, terasa seperti Huesca, puisi John Confort, kenangan padanya derita padaku. Berhari-hari, berbulan, bertahun-tahun. Seandainya Mak dan Bapak tidak di negeri ini, barangkali sudah tidak terjejak lagi tanah ini oleh kakiku.
***
“Di mana Mamak Baha itu sekarang?”
“Sejak keluar dari penjara, dia tinggal di surau dagang, tapi kata orang kadang-kadang dia tidur di emperan toko dan di kolong jembatan.”
“Anak-anaknya di mana?”
“Mereka tidak mau tahu.”
“Itulah kataku dulu, Tuhan sudah membalasnya.”
Bapak lebih banyak diam, dan tersenyum tipis ketika aku keluarkan pisau yang diberikannya dulu.
“Pisau perbuatan kita sendiri sesungguhnya jauh lebih tajam dari pisau sesungguhnya”, kata Bapak menatap pisau itu.
Kuletakan pisau itu di atas meja.
“Kau silau-lah dia, barangkali dapat meringankan batinnya.”
Perlahan aku menggelengkan kepala, dan meraih sebatang rokok. Kubakar, kuhisap dalam-dalam, mataku menembus kaca jendela. Menembus masa lalu.
Dulu laki-laki itu begitu gagah. Waktu kecil aku bangga, aku memanggilnya Mamak Baha. Sewaktu aku di sekolah lanjutan atas, baru aku tahu siapa dia. Orang yang berkuasa di nagari ini, bertangan besi, kaya. Hanya sayang dia tidak peduli dengan pendidikan anak-anaknya dan kamanakannya.
“Sudah cukuplah sekolah, jangan tinggi-tinggi, hanya jadi sarok balai (sampah), lebih baik ijazah Waang pergunakan jadi pegawai, jadi pedagang.”
Dia buat rumah seperti istana gedung putih, anak-anaknya berpoya-poya, plesiran atau melancong. Satu yang tidak dapat aku terima, yang membuat aku marah, dia menjual tanah-tanah ulayat, harta pusaka, kepada konglomerat-konglomerat dari negeri seberang, dia berpidato dengan bangga, “…kita datangkan investor-investor”. Sekarang ibuku tidak mempunyai satu pun harta pusaka itu lagi.
Negeri ini memang sudah maju dan modern, sudah menjadi bagian dari kota, kalau dulu hanya pinggir kota. Hotel berbintang, swalayan besar, pusat grosir terbesar, rumah sakit mewah, tempat-tempat hiburan, perkebunan, pabrik-pabrik, begitu membanggakan, memang. Hanya sayang bukan milik rakyat, tetapi milik sekelompok para konglomeret dari negeri seberang sudah terkenal sangat ganas kapitalisnya. Sementera rakyat disuruhnya berzikir, dinina bobokannya dengan membangun mesjid agung yang biayanya milyaran, anak-anak sekolah perempuan diwajibkannya berjilbab, para ulama, ustad, garin diberinya gaji supaya terhimpit lidahnya. Rakyat nagari pun memuja-mujanya dengan fanatik.
Matahari berputar, hari berganti, bulan bertukar, tahun berlalu. Zaman berubah, dunia berputar, seperti roda pedati, Mamak Baha diadili dengan tuduhan korupsi, hartanya di sita. Dia terjebak oleh perbuatannya sendiri. Semua harta satu demi satu habis terjual, sedangkan badan di penjara. Sebaliknya sekarang anak-anaknya yang menjadi sarok balai. Adapun Mak Malay tetangga sebelah yang lebih mementingkan pendidikan anak-anak dulu, sekarang hidup bahagia, karena anak-anaknya jadi orang. Dulu Mak Malay habis dicemoohkannya, termasuk aku, kamanakannya.
***
Besoknya, waktu selesai minum kopi pagi, tiba-tiba televisi lokal memberitakan, ditemukan mayat laki-laki tua bergelimang kotoran dekat tong sampah. Laki-laki itu adalah Mamak Baha. Diperkirakan sudah lama mati. Aku matikan televisi itu. Biar para aktivis sosial mengurusnya, kemudian aku pamit kembali ke rantau, menyalami Mak dan Bapak, juga kepada Selly, pegawai yang kugaji untuk menjaga orangtuaku. Di depan rumah aku panggil taksi, menuju bandara. Terasa masih terngiang penggelan puisi John Conford, Huesca, ingatan padamu, derita padaku. ***
Saturday, 14 February 2009
Cerpen-pisau dalam diri-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment