Menu

Wednesday 24 September 2008

Makanan khas Jepang

Makanan khas Jepang

Makanan khas Jepang seperti sushi dan sashimi, di Tokyo ada banyak makanan dari negara-negara lain yang menurut saya lebih enak ketimbang makanan Jepang yang terkadang hambar...

Anyway, saran saya kalau ingin menghemat budget makan selama di Jepang : puas-puaskan makan pada jam makan siang, karena jam makan siang (lunch time, biasanya antara jam 11 pagi - 3 sore) lebih murah ketimbang malam.Biasanya restoran-restoran menyediakan menu khusus lunch set yang murah. Kalau kita datang ke restoran yang sama di malam hari, tiap masakan dijual satuan per piring. Belum lagi kalau yang didatangi adalah izakaya (restoran gaya jepang), ada yang mengenakan service charge per orang diluar harga makanan. Izakaya ini sebenarnya tempat minum (baca: bir, sake). Karena itu, begitu tamu duduk akan langsung ditanya mau minum apa. Tapi selain minuman beralkohol biasanya juga disediakan minuman non alkohol seperti ulong cha (es teh cina), orange juice, atau coca cola.

Kalau lunch set yang dijual siang hari harganya di bawah 1000 yen, biaya yang dikeluarkan per orang untuk makan malam di Izakaya ini paling sedikit 2000 yen per orang. Ini harga standar bawah banget, kalau tahu tempat yang murah. Rata-rata bisa habis 4000 - 5000 an sekali makan. Enaknya di Izakaya ini, banyak masakan Jepang seperti sashimi, yakitori, masakan ikan, dan tofu. Waktu lunch time, menu-menu ini dikeluarkan dalam porsi sedikit tapi plus nasi, salad atau acar-acaran dan miso shiru. Kadang-kadang juga ada dessert khusus untuk cewek. Jadi kalau ingin mencicipi sedikit sashimi, datanglah waktu jam makan siang. Tapi kalau ingin makan agak mewah, silahkan datang waktu malam.

Selain izakaya, kalau ingin makan sushi, restoran sushi yang berputar jauh lebih murah ketimbangyang sistem counter. Kalau di tempat yang berputar harga per sushi dipatok 100 yen per piring isi dua buah sushi, di restoran sushi ber-counter harganya tergantung pada jenis ikannya. Di restoran yang berputar ada juga sushi yang harganya lebih dari 100 yen, tapi masih lebih reasonable ketimbang counter. Orang Jepang sih bilang bahwa rasa ikan di restoran sushi ber-counter lebih enak dibanding yang dijual di tempat berputar. Tapi buat saya yang masih lidah Indonesia, rasanya sushi di Jepang sama saja... tidak lebih asin atau manis, bisa pedas menyengat kalau diolesi wasabi, tapi selebihnya ya tidak ada bedanya. FYI, di restoran 100 yen sushi di Shibuya, ada aturan untuk makan paling sedikit 7 piring per orang. Jadi kalau mau makan sushi di daerah ramai turis, pastikan dulu berapa minimal sushi yang harus dimakan.

Selain sushi dan sashimi, ada juga restoran chain store yang menyediakan makanan khas Jepang yang lain. Restoran-restoran seperti ini ada di beberapa tempat, dan harganya relatif murah. Ini saya cantumkan linknya, cuma karena semuanya hanya tersedia dalam bahasa Jepang, diingat-ingat saja bentuk tulisannya, siapa tahu kalau nanti ketemu paling tidak sudah ada bayangan restoran itu jualan apa.
- gyudon (beef bowl), dijual di Matsuya, Yoshinoya, dan beberapa chain restoran lain. Harganya rata-rata 400-500 yen.
- tendon (nasi + tempura dalam mangkok), dijual di Tenya. Harganya juga sekitar 500 yen. Bisa lebih mahal untuk yang menunya komplit.
- japanese kare, dijual di Coco ichibanya - mereka punya menu dalam bahasa Inggris, Kare no Ousama. Restoran-restoran biasa juga banyak yang menyediakan kare jepang untuk makan siang, tapi menu kare di restoran spesialis kare lebih banyak dan toppingnya bisa macam-macam. Harga karenya bervariasi mulai dari 400 yen-an sampai 800 yen-an.
- teishoku (set menu masakan jepang), biasanya berisi masakan ikan + nasi + miso shiru + sayuran sedikit. Menu ini ada di Ootoya, dulu Meshiyadon - sekarang namanya ganti jadi Yayoiken. Harganya sekitar 700-800 yen.
- ramen, banyak banget yang jual, tapi saya masih belum ketemu rasa ramen Jepang yang cocok di lidah saya, setiap daerah di Jepang punya rasa ramen sendiri-sendiri seperti Hokaido ramen, Kyushu ramen.

kimono

Kimono

Wanita yang mengenakan kimono
Wanita yang mengenakan kimono
Dua maiko (geisha yang masih belajar) sedang mengenakan kimono jenis Furisode.
Dua maiko (geisha yang masih belajar) sedang mengenakan kimono jenis Furisode.

Kimono (bahasa Jepang: 着物 secara harafiah: "sesuatu yang dikenakan seseorang," atau "pakaian") adalah pakaian nasional Jepang. Bagi orang Jepang, kimono lebih dikenal dengan sebutan Wafuku (bahasa Jepang: 和服 secara harafiah: "pakaian Jepang") atau Gofuku (bahasa Jepang: 呉服 secara harafiah: "pakaian dari zaman Go di Tiongkok") untuk membedakannya dengan pakaian barat (Yofuku). Kimono yang dikenal sekarang ini berbentuk seperti huruf "T," berupa mantel berkerah yang panjangnya sampai ke pergelangan kaki. Kimono untuk pria terdiri dari setelan atas-bawah, sedangkan kimono untuk wanita berbentuk baju terusan.

Cara memakai kimono dalam bahasa Jepangnya disebut Kitsuke. Peraturan dalam memakai kimono sangatlah terinci, mulai dari jenis-jenis kimono yang sesuai dengan acaranya, hingga aksesori yang sesuai dengan jenis kimono tertentu. Belajar mengenakan kimono juga bukan hal yang mudah, sehingga di Jepang banyak terdapat tempat kursus untuk belajar pakai kimono. Di toko-toko juga banyak dijual alat-alat bantu yang memudahkan orang memakai kimono. Walaupun sebetulnya kimono dapat dikenakan sendiri tanpa bantuan orang lain, kebanyakan wanita Jepang masih harus dibantu orang yang profesional sewaktu mengenakan kimono.


Membeli Kimono

Bahan kain untuk kimono merupakan seni tenun tradisional Jepang yang bernilai seni tinggi. Kimono untuk kesempatan formal dibuat hanya dari bahan kain sutera kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan (tidak menggunakan mesin jahit), sehingga harganya menjadi sangat mahal. Kimono juga tidak pernah dijual dalam keadaan sudah jadi, melainkan harus dipesan sesuai dengan ukuran badan pemakainya.

Bahan kain untuk kimono haruslah kain yang ditenun dengan sempurna tanpa cacat dan harus dibeli dalam satu gulungan kain dengan tidak memperhitungkan tinggi badan si pembeli. Membeli kimono dimulai dengan memilih bahan kain untuk kimono yang disebut Tanmono (bahasa Jepang: 反物, secara harafiah: "gulungan kain yang panjangnya 1 Tan"). Jika kebetulan si pemakai kimono bertubuh pendek dan ramping, setelah kimono selesai dijahit nantinya akan banyak bahan kimono yang tersisa. Sisa-sisa bahan kimono bisa dimanfaatkan oleh si pemakai kimono untuk membuat aksesori sewaktu memakai kimono, seperti tas, dompet, atau sandal.

Kimono dapat dibeli dengan harga lebih murah pada kesempatan obral bahan kain kimono kelas dua yang disebut B-Tan Ichi (bahasa Jepang: B反市 secara harafiah: "Pasar kain kelas B") untuk membandingkannya dengan bahan kimono "kelas A" yang tenunannya sempurna tanpa cacat. Walaupun bahan kain yang dibeli mempunyai sedikit cacat, penjahit kimono yang berpengalaman dapat menyembunyikan bagian tenunan yang rusak, sehingga hasil jadinya terlihat hampir sama dengan kimono dari bahan sempurna.

Belakangan ini, di toko-toko banyak dijual kimono impor jenis Yukata yang merupakan hasil jahitan mesin di pabrik. Orang-orang Jepang banyak mengenakan Yukata produk impor yang harganya murah untuk kesempatan santai seperti menyaksikan pesta kembang api.

Nilai jual kembali

Ukuran kimono dapat disesuaikan dengan ukuran badan si pemilik, sehingga sering kimono yang dijahit dari bahan kain berkualitas dijadikan barang warisan keluarga. Kimono bekas pakai juga masih mempunyai nilai jual tinggi. Di Jepang bisa dijumpai toko-toko yang menjual kimono bekas pakai. Pada Perang Dunia II, sewaktu penduduk kota kekurangan pangan, kimono pernah digunakan sebagai alat bayar untuk membeli bahan makanan dan bumbu dapur seperti beras, telur, miso, dan gula.

Peran Kimono dalam Kebudayaan Jepang

Mengingat cara mengenakan kimono yang rumit dan harga kain tradisional untuk kimono yang mahal, kimono hanya dikenakan orang-orang Jepang zaman sekarang, baik pria maupun wanita, serta anak-anak sewaktu menghadiri acara-acara istimewa seperti hari-hari besar setempat atau mengikuti kegiatan seni dan olah raga yang bersifat tradisional.

Wanita yang sudah genap berusia 20 tahun tidak akan mau melewatkan kesempatan memakai kimono Furisode yang paling indah untuk menghadiri upacara Seijin Shiki. Begitu pula orang tua dan kakek-nenek merasa berkewajiban untuk mendandani anak-anaknya memakai kimono pada perayaan anak-anak yang berusia 7, 5 dan 3 tahun yang disebut Hichi-go-san. Selain itu, kimono banyak dikenakan oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang industri jasa dan pariwisata, seperti pelayan wanita di restoran khas Jepang (ryotei) dan pegawai penginapan khas Jepang (ryokan).

[sunting] Sejarah

Zaman Jomon dan Zaman Yayoi

Pada zaman ini kimono berbentuk baju terusan. Dari penggalian arkeologis tumpukan kulit kerang peninggalan zaman Jomon ditemukan Haniwa (barang-barang kecil dari tembikar yang dikubur untuk menemani perjalanan arwah ke alam lain) yang mengenakan pakaian atas yang disebut Kantoi (貫頭衣).

Menurut Gishiwajinden (buku sejarah yang ditulis orang Tiongkok mengenai tiga negara), pakaian untuk laki-laki adalah sangatlah sederhana, sehelai kain yang diselempangkan secara horizontal pada badan seperti pakaian pendeta Buddha, dan sehelai kain yang dililitkan di kepala. Pakaian wanita disebut Kantoi yang berupa sehelai kain yang ditengah-tengahnya dibuat lubang untuk memasukkan kepala dan tali yang digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut catatan Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan untuk Jepang zaman dulu) "selalu mengenakan pakaian Kantoi berwarna putih." Pakaian rakyat biasa dari serat rami sedangkan orang yang berkedudukan mengenakan kain sutera.

Zaman Makam Kuno

Pakaian pada zaman ini mendapat pengaruh dari daratan Tiongkok, yakni terdiri dari dua potong pakaian: atas dan bawah. Haniwa mulai mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai di atas Kantoi, dan rok yang dililitkan di pinggang sebagai bawahannya. Haniwa yang ditemukan juga ada yang mengenakan celana berpipa lebar seperti Hakama sebagai bawahannya.

Jahitan mulai dikenal pada zaman ini. Agar Kantoi lebih mudah dipakai, di bagian depan dibuatkan bukaan dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit. Baju atas kemudian dibagi menjadi dua jenis kerah, yaitu:

  • baju atas berkerah datar sampai persis di bawah leher (Agekubi)
  • baju atas dengan kerah berbentuk huruf "V" (Tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

Zaman Nara

Aristokrat zaman Asuka yang bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (Kan-i Junikai) yang dibeda-bedakan menurut warna hiasan penutup kepala (Kanmuri). Di dalam kitab hukum yang disebut Taiho ritsuryo, juga tercantum peraturan mengenai busana misalnya jenis-jenis pakaian resmi, pakaian pegawai istana, dan pakaian seragam yang dikenakan di dalam istana kaisar.

Pakaian formal untuk pejabat sipil (Bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak, sedangkan pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar bebas dalam bergerak.

Menurut beberapa politikus legendaris yang salah satunya bernama Ononoimoko yang pernah menjabat sebagai Kenzui-shi (utusan Jepang untuk Dinasti Sui), busana dan aksesori pada zaman ini banyak dipengaruhi budaya Tiongkok yang mengalir masuk ke Jepang.

Sejak tahun 719, cara memakai kimono untuk pria maupun wanita mengalami perubahan. Bila dilihat dari depan, kerah bagian kanan harus dipertemukan di atas kerah bagian kiri. Cara ini merupakan kebalikan dari cara sebelumnya, yakni kerah bagian kiri harus di atas kerah bagian kanan.

Kuatnya pengaruh budaya Dinasti Tang juga membuat populer baju berlengan sempit yang disebut Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam.

Zaman Heian

Menurut aristokrat bernama Sugawara Michizane, penghapusan Kentoshi (utusan Jepang untuk Dinasti Tang) memicu pertumbuhan budaya lokal yang ditandai dengan ketetapan resmi tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal. Sayangnya hal ini berakibat pada semakin rumitnya gaya pakaian zaman Heian. Wanita pada zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut Junihitoe. Menurut catatan, pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) juga kehilangan sifat kepraktisannya.

Pada zaman itu, pejabat pria mempunyai tiga jenis pakaian, yaitu:

  • pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap yang disebut Sokutai
  • pakaian untuk tugas resmi sehari-hari (Ikan) yang dibuat sedikit lebih ringan dari Sokutai
  • pakaian untuk kesempatan pribadi disebut Noshi yang sepintas lalu terlihat mirip dengan pakaian jenis Ikan.

Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut Suikan atau Kariginu (bahasa Jepang: 狩衣 scara harafiah: "baju berburu"). Di kemudian hari, kaum aristokrat menjadikan Kariginu sebagai pakaian sehari-hari. Kaum samurai (Bushi) juga kemudian menggemari Kariginu.

Kaum samurai mengambil alih kekuasaan dan menjadikan bangsawan istana terasing dari dunia politik. Pakaian yang merupakan simbol status bagi bangsawan istana beralih menjadi simbol status kamu samurai.

Zaman Kamakura dan Zaman Muromachi

Kekuasaan pemerintahan beralih ke tangan para samurai di zaman Sengoku. Prajurit samurai mengenakan pakaian bernama Suikan, yang perlahan-lahan berubah menjadi pakaian yang disebut Hitatare yang kemudian pada zaman Muromachi dijadikan pakaian resmi kaum samurai.

Pada zaman ini muncul kimono yang disebut Suo (素襖) yang berciri khas lambang keluarga dalam ukuran besar (Daimon) di 8 tempat. Suo adalah sejenis Hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis di dalam.

Penyederhaan pakaian kaum samurai terus berlanjut. Di zaman Edo, pakaian kaum samurai disederhanakan menjadi setelan yang sampai saat ini terkenal dengan sebutan Kamishimo(裃), yang terdiri dari baju atas yang disebut Kataginu (肩衣) dan celana Hakama.

Pakaian wanita pada zaman ini juga menjadi lebih sederhana. Rok bawah yang disebut Mo (裳) berubah menjadi celana Hakama, sebelum akhirnya menghilang sama sekali dan digantikan oleh kimono model terusan. Sewaktu memakai Kosode (pakaian dalam), kain yang disebut Koshimaki dan Yumaki digunakan sebagai kain penutup pinggang. Kosode yang lebih panjang dipakai untuk melapisi Kosode yang berfungsi sebagai pakaian dalam, dengan maksud agar Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam terlihat dari luar.

Zaman Edo Periode Awal

Sebagai pakaian yang merupakan simbol budaya orang kota yang mengikuti tren, Kosode menjadi semakin populer di kalangan masyarakat.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung-panggung sandiwara seperti Kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut Nishikie atau Ukiyoe mendorong semakin banyaknya orang yang bisa melihat gambar-gambar pemeran Kabuki dengan pakaian kimono yang gemerlap. Pakaian orang kota cenderung menjadi semakin mewah untuk meniru pakaian yang dikenakan pemain Kabuki.

Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma-norma Konfusianisme, pemerintah Bakufu secara bertahap memaksakan Kenyakurei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan ini gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh (Chanoyu) yang telah berurat berakar juga menjadi sebab kegagalan Kenyakurei. Upacara minum teh yang dihadiri dengan memakai kimono yang sedapat mungkin harus tampak sederhana ternyata sebetulnya berharga mahal.

Pada masa ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut Kumihimo dan gaya mengikat Obi di punggung yang bertahan hingga zaman sekarang.

Zaman Edo Periode Lanjut

Politik isolasi (Sakoku) membuat terhentinya impor benang sutera. Industri benang sutera dalam negeri pun tumbuh pesat pada periode ini. Setelah berhasil mengendalikan produksi benang sutera, pemerintah Bakufu kembali berusaha kembali memaksakan cara berpakaian dan gaya potongan rambut yang sesuai dengan kelas-kelas di dalam masyarakat. Kali ini pemerintah Bakufu berhasil memaksakan keinginannya. Bahan pakaian orang kota tidak lagi dibuat dari kain sutera yang dikontrol oleh pemerintah, melainkan dari kain katun atau kain serat rami. Hal ini ternyata menumbuhkan kreativitas masyarakat agar kimono yang dibuat dari kain katun atau serat rami terlihat bagus dipakai.

Pakaian wanita yang disebut Tamoto (袂) menjadi populer di kalangan rakyat banyak. Tamoto merupakan bentuk awal dari kimono jenis Furisode yang dipakai sebagai baju pengantin wanita.

Zaman Meiji dan Zaman Taisho

Pada zaman Meiji, orang-orang dari golongan bangsawan istana berlomba mengganti kimono dengan pakaian ala Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang-orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan secara turun temurun tidak menjadi terpengaruh. Orang-orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi asli yang dipelihara sejak zaman Edo.

Setelah peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku lagi, kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Pada saat yang bersamaan, industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang menggunakan benang sutera. Produk industri tekstil pada zaman ini adalah berjenis-jenis kain sutera seperti silk crepe, rinzu, omeshi, dan meisen.

Teknik pencelupan kain juga berkembang dengan cepat seiring dengan tersedianya berjenis-jenis kain yang dapat diproses. Pada zaman ini mulai dikenal teknik yang disebut Yuzen (友禅), yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan motif (biasanya berbentuk bunga-bunga) di atas kain kimono.

Kain sutera dengan motif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus yang sudah populer sejak zaman Edo ternyata masih populer di antara kalangan atas sebagai pakaian terbagus yang cuma dipakai pada kesempatan istimewa. Pada saat yang sama, kain sutera hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan juga disukai banyak orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai mengalir ke Jepang, penjahit-penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian ala Barat. Sejak saat itu, istilah Wafuku mulai dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Pada masa-masa awal orang Jepang mulai mengenakan pakaian ala Barat, orang-orang kalangan atas mengenakan pakaian ala Barat yang dipinjam dari toko-toko yang menyewakan pakaian ala Barat.

Di zaman Meiji, sebagian besar orang laki-laki masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Pakaian ala Barat berupa setelan jas menjadi populer sebagai pakaian formal pria untuk keluar rumah.

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer, sedangkan model seragam sekolah anak laki-laki ditiru dari model seragam tentara angkatan darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara.

Wanita Jepang pada zaman Meiji semuanya masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.

Pada zaman Taisho periode lanjut, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memiliterisasi seluruh negeri, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa Andon Hakama (kimono dengan celana Hakama) diganti dengan pakaian ala barat yang disebut Serafuku, yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.

Zaman Showa

Di zaman perang, pemerintah membagi-bagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut Kokumin fuku, sedangkan pemerintah memaksa para wanita untuk memakai Monpei (celana panjang untuk kerja yang berkaret di bagian pergelangan kaki).

Wanita Jepang hampir tidak mempunyai kesempatan untuk memakai kimono sewaktu zaman perang. Walapun begitu, sebenarnya Monpei bisa dikatakan merupakan salah satu jenis dari Hakama, semacam celana yang dikenakan bersama kimono.

Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang. Wanita Jepang merasa lega karena perang sudah berakhir dan kembali terpikat pada keindahan kimono. Tapi zaman cepat berganti, kimono tidak mungkin menandingi kepopuleran pakaian ala Barat yang praktis untuk dipakai sehari-hari, sehingga jumlah orang Jepang yang memakai kimono menjadi berkurang sedikit demi sedikit.

Walaupun demikian, sampai sekitar tahun 1965 masih terlihat banyak sekali wanita Jepang yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu kepopuleran kimono menjadi terangkat kembali dengan diperkenalkannya kimono indah berwarna-warni dari bahan wol. Kimono dari bahan wol disukai wanita Jepang zaman itu sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Pedagang kimono risau dengan kejatuhan popularitas kimono dari kain sutera yang dianggap tidak praktis untuk pakaian sehari-hari. Demi kelangsungan bisnis, pedagang kimono mencari berbagai macam cara untuk meningkatkan jumlah penjualan barang. Salah satu caranya adalah dengan memasyarakatkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut Yakusoku. Peraturan yang sengaja dibuat-buat untuk mendikte pembeli bahwa kimono jenis tertentu hanya cocok dengan aksesori tertentu ternyata tidak mengena di hati konsumen. Walaupun pedagang sudah melakukan promosi kimono secara besar-besaran, di dalam masyarakat Jepang telanjur terbentuk opini bahwa "memakai kimono itu ruwet." Orang Jepang pun semakin menjauh dari kimono. Akibatnya, industri tekstil yang menghasilkan bahan kain untuk kimono (Tanmono) satu per satu menjadi bangkrut.

Sekarang sudah tidak bisa ditemui lagi laki-laki yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari di rumah, padahal sampai tahun 1960-an masih banyak terlihat pemandangan laki-laki berkimono di rumah (bahkan masih bisa dilihat pada gambar-gambar Manga terbitan tahun 1970-an).

Saat ini tidak begitu banyak lagi laki-laki Jepang yang memakai kimono, kecuali Samue (作務衣) yang dipakai sebagai baju kerja.

Kimono Wanita

Kimono untuk wanita terdiri dari berbagai jenis yang semuanya sarat dengan simbolisme dan isyarat-isyarat terselubung. Pilihan jenis kimono tertentu bisa menunjukkan umur si pemakai, status perkawinan (masih lajang atau sudah menikah), dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.

Jenis-jenis kimono wanita disusun menurut tingkatan formalitas, mulai dari kimono yang paling formal hingga kimono santai:

Tomesode adalah jenis kimono yang paling formal, umumnya berwarna hitam dan hanya dikenakan oleh wanita yang sudah menikah. Tomesode yang berwarna hitam disebut Kurotomesode. Pada kimono jenis Tomesode terdapat lambang keluarga (kamon) si pemakai. Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Ciri khas Tomesode adalah motif yang indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki). Tomesode dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta atau acara-acara yang sangat resmi.

Furisode adalah kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas Furisode pada bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian. Furisode dikenakan pada waktu menghadiri upacara "Seijin Shiki" (hari menjadi dewasa), menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda atau kunjungan ke kuil Shinto di hari-hari awal Tahun Baru (Hatsumode).

Homongi (bahasa Jepang: 訪問着, secara harafiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita yang sudah menikah atau wanita dewasa yang belum menikah. Homongi dikenakan wanita yang sudah menikah untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta-pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh.

Iromuji kimono semiformal yang bisa dijadikan kimono formal jika mempunyai lambang keluarga (kamon). Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Bahan umumnya tidak bermotif dan berwarna merah jambu, biru muda, kuning muda atau warna-warna lembut lainnya. Iromuji dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan atau upacara minum teh.

Tsukesage adalah kimono semi formal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitasnya, Tsukesage hanya setingkat dibawah Homongi. Tsukesage biasa dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan, pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh yang sifatnya tidak begitu resmi.

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas pada motif sederhana yang kecil-kecil yang berulang. Komon bisa dikenakan untuk menghadiri pesta alumni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah, walaupun boleh juga dikenakan untuk keluar rumah seperti berbelanja dan jalan-jalan. Ciri khas Tsumugi pada bahan yang merupakan bahan tenunan sederhana dari katun atau benang sutera kelas rendah yang tebal dan kasar sehingga kimono jenis ini tahan lama. Pada zaman dulu, Tsumugi digunakan untuk bekerja di ladang.

Yukata adalah jenis kimono santai yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk kesempatan santai di musim panas.

Pakaian Pengantin Wanita

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (Hanayome Isho) terdiri dari Furisode dan Uchikake (sejenis mantel yang dikenakan di atas Furisode). Hanayome Isho dikenakan pengantin wanita pada saat upacara dan resepsi pernikahan.

Furisode khusus pengantin yang merupakan bagian dari Hanayome Isho berbeda dengan Furisode yang dikenakan wanita muda yang belum menikah. Furisode khusus pengantin mempunyai motif-motif yang dianggap dapat mengundang keberuntungan seperti burung Jenjang (burung Tsuru), dan berwarna lebih cerah dibandingkan dengan Furisode biasa.

Shiromuku adalah pakaian pengantin wanita tradisional Jepang yang berupa Furisode yang berwarna putih bersih dan tidak bermotif.

[sunting] Kimono Pria

Kimono pria jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kimono wanita. Kimono pria didominasi warna-warna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.

  • Setelan Montsuki dengan Hakama dan Haori.

Kimono pria yang paling formal disebut Montsuki yang di bagian punggungnya terdapat lambang keluarga (Kamon) si pemakai. Bawahan yang digunakan untuk Montsuki adalah celana panjang Hakama, sedangkan mantelnya disebut Haori.

Montsuki yang dipakai lengkap dengan Hakama dan Haori juga berfungsi sebagai pakaian pengantin pria. Selain sebagai pakaian pengantin pria, Montsuki lengkap dengan Hakama dan Haori hanya dikenakan pada waktu menghadiri upacara yang sangat resmi, seperti resepsi pemberian penghargaan dari Kaisar/pemerintah.

  • Ki Nagashi

Ki Nagashi adalah kimono santai untuk dipakai sehari-hari yang dikenakan pria untuk keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Bahannya bisa terbuat dari katun atau bahan campuran. Ki Nagashi banyak dikenakan pemeran Kabuki pada saat latihan atau guru tari tradisional Jepang pada saat mengajar.

[sunting] Aksesori dan Pakaian Pelengkap untuk Kimono

Hakama adalah semacam celana panjang yang dikenakan pria yang juga terbuat dari bahan berwarna gelap. Hakama berasal dari daratan Tiongkok dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Hakama umumnya dikenakan pendeta kuil Shinto . Di kalangan olah raga tradisional Jepang seperti Kendo dan Kyudo, Hakama dikenakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Geta adalah sandal dari kayu yang dilengkapi dengan hak. Geta berhak tinggi dan tebal yang dipakai oleh Maiko disebut Pokkuri

Junihitoe adalah kimono 12 lapis yang dipakai oleh wanita Jepang zaman dulu di istana kaisar.

Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.

Obi adalah sabuk dari kain yang seperti stagen yang dililitkan ke badan pemakai untuk mengencangkan kimono

Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki untuk memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. Tabi dipakai sewaktu memakai sandal, walaupun ada Tabi dari kain keras yang dapat dipakai begitu saja seperti sepatu bot.

Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.

Zori adalah sandal tradisional Jepang yang bisa terbuat dari kain atau anyaman sejenis rumput (Igusa).

Saturday 20 September 2008

Kanji


Bunyi Kanji (漢字?), secara harfiah berarti "aksara dari Han Republik Rakyat Cina") adalah aksara Tionghoa yang digunakan dalam bahasa Jepang. Kanji adalah salah satu dari empat set aksara yang digunakan dalam tulisan modern Jepang selain kana (katakana, hiragana) dan romaji.

Kanji dulunya juga disebut mana (真名?) atau shinji (真字?) untuk membedakannya dari kana. Aksara kanji dipakai untuk melambangkan konsep atau ide (kata benda, akar kata kerja, akar kata sifat, dan kata keterangan). Sementara itu, hiragana (zaman dulu katakana) umumnya dipakai sebagai okurigana untuk menuliskan infleksi kata kerja dan kata-kata yang akar katanya ditulis dengan kanji, atau kata-kata asli bahasa Jepang. Selain itu, hiragana dipakai menulis kata-kata yang sulit ditulis dan diingat bila ditulis dalam aksara kanji. Kecuali kata pungut, aksara kanji dipakai untuk menulis hampir semua kosakata yang berasal dari bahasa Tionghoa maupun bahasa Jepang.


Sejarah

Secara resmi, aksara Tionghoa pertama kali dikenal di Jepang lewat barang-barang yang diimpor dari Tiongkok melalui Semenanjung Korea mulai abad ke-5 Masehi. Sejak itu pula, aksara Tionghoa banyak dipakai untuk menulis di Jepang, termasuk untuk prasasti dari batu dan barang-barang lain. 

Sebelumnya di awal abad ke-3 Masehi, dua orang bernama Achiki dan Wani datang dari Baekje di masa pemerintahan Kaisar Ōjin. Keduanya konon menjadi pengajar aksara Tionghoa bagi putra kaisar.[1] Wani membawa buku Analek karya Kong Hu Chu dan buku pelajaran menulis aksara Tionghoa untuk anak-anak dengan judul Seribu Karakter Klasik.[2] Walaupun demikian, orang Jepang mungkin sudah mengenal aksara Tionghoa sejak abad ke-1 Masehi. Di Kyushu ditemukan stempel emas asal tahun 57 Masehi yang diterima sebagai hadiah dari Tiongkok untuk raja negeri Wa (Jepang).[1]

Dokumen tertua yang ditulis di Jepang menurut perkiraan ditulis keturunan imigran dari Tiongkok. Istana mempekerjakan keturunan imigran dari Tiongkok bekerja di istana sebagai juru tulis. Mereka menuliskan bahasa Jepang kuno yang disebut yamato kotoba dalam aksara Tionghoa. Selain itu, mereka juga menuliskan berbagai peristiwa dan kejadian penting.[2]

Sebelum aksara kanji dikenal orang Jepang, bahasa Jepang berkembang tanpa bentuk tertulis. Pada awalnya, dokumen bahasa Jepang ditulis dalam bahasa Tionghoa, dan dilafalkan menurut cara membaca bahasa Tionghoa. Sistem kanbun (漢文?) merupakan cara penulisan bahasa Jepang menurut bahasa Tionghoa yang dilengkapi tanda diakritik. Sewaktu dibaca, tanda diakritik membantu penutur bahasa Jepang mengubah susunan kata-kata, menambah partikel, dan infleksi sesuai aturan tata bahasa Jepang.

Selanjutnya berkembang sistem penulisan man'yōgana yang memakai aksara Tionghoa untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Sistem ini dipakai dalam antologi puisi klasik Man'yōshū. Sewaktu menulis man'yōgana, aksara Tionghoa ditulis dalam bentuk kursif agar menghemat waktu. Hasilnya adalah hiragana yang merupakan bentuk sederhana dari man'yōgana. Hiragana menjadi sistem penulisan yang mudah dikuasai wanita. Kesusastraan zaman Heian diwarnai karya-karya besar sastrawan wanita yang menulis dalam hiragana. Sementara itu, katakana diciptakan oleh biksu yang hanya mengambil sebagian kecil coretan dari sebagian karakter kanji yang dipakai dalam man'yōgana.

Cara pengucapan

Satu aksara kanji bisa memiliki cara membaca yang berbeda-beda. Selain itu tidak jarang, satu bunyi bisa dilambangkan oleh aksara kanji yang berbeda-beda. Aksara kanji memiliki dua cara pengucapan, ucapan Tionghoa (on'yomi) dan ucapan Jepang (kun'yomi).

Ucapan Tionghoa (on'yomi)

On'yomi (音読み?) atau ucapan Cina adalah cara membaca aksara kanji mengikuti cara membaca orang Cina sewaktu karakter tersebut diperkenalkan di Jepang. Pengucapan karakter kanji menurut bunyi bahasa Tionghoa bergantung kepada zaman ketika karakter tersebut diperkenalkan di Jepang. Akibatnya, sebagian besar karakter kanji memiliki lebih dari satu on'yomi. Kanji juga dikenal orang Jepang secara bertahap dan tidak langsung dilakukan pembakuan.

On'yomi dibagi menjadi 4 jenis:

  • Go-on (呉音? "ucapan Wu") adalah cara pengucapan dari daerah Wu di bagian selatan zaman Enam Dinasti Tiongkok. Walaupun tidak pernah ditemukan bukti-bukti, ucapan Wu diperkirakan dibawa masuk ke Jepang melalui Semenanjung Korea dari abad ke-5 hingga abad ke-6. Ucapan Wu diperkirakan berasal dari cara membaca literatur agama Buddha yang diwariskan secara turun temurun sebelum diketahui cara membaca Kan-on (ucapan Han). Semuanya cara pengucapan sebelum Kan-on digolongkan sebagai Go-on walaupun mungkin saja berbeda zaman dan asal-usulnya bukan dari daerah Wu.
  • Kan-on (漢音? "ucapan Han") adalah cara pengucapan seperti dipelajari dari zaman Nara hingga zaman Heian oleh utusan Jepang ke Dinasti Tang dan biksu yang belajar ke Tiongkok. Secara khusus, cara pengucapan yang ditiru adalah cara pengucapan orang Chang'an.
  • Tō-on (唐音? "ucapan Tang") adalah cara pengucapan karakter seperti dipelajari oleh biksu Zen antara zaman Kamakura dan zaman Muromachi yang belajar ke Dinasti Song, dan perdagangan dengan Tiongkok.
  • Kan'yō-on (慣用音? "ucapan populer") adalah cara pengucapan on'yomi yang salah (tidak ada dalam bahasa Tionghoa), tapi telah diterima sebagai kelaziman.
Kanji Arti Go-on Kan-on Tō-on Kan'yō-on
terang myō (明星 myōjō) mei (明暗 meian) (min)* (明国 minkoku)
pergi gyō (行列 gyōretsu) (行動 kōdō) (an)* (行灯 andon)
ibu kota kyō (京都 Kyōto) kei (京阪 Keihan) kin (南京 Nankin)
biru, hijau shō (緑青 rokushō) sei (青春 seishun) chin (青島 Chintao) -
murni shō (清浄 shōjō) sei (清潔 seiketsu) (shin)* (清国 Shinkoku)
mengirim (shu)* (shu)* yu (運輸 un-yu)[3]
tidur (men)* (ben)* min (睡眠 suimin) [4]

*Ucapan yang tidak umum

Ucapan Jepang (kun'yomi)

Kun'yomi (訓読み?) atau ucapan Jepang adalah cara pengucapan kata asli bahasa Jepang untuk karakter kanji yang artinya sama atau paling mendekati. Kanji tidak diucapkan menurut pengucapan orang Cina, melainkan menurut pengucapan orang Jepang. Bila karakter kanji dipakai untuk menuliskan kata asli bahasa Jepang, okurigana sering perlu ditulis mengikuti karakter tersebut.

Seperti halnya, on'yomi sebuah karakter kadang-kadang memiliki beberapa kun'yomi yang bisa dibedakan berdasarkan konteks dan okurigana yang mengikutinya. Beberapa karakter yang berbeda-beda sering juga memiliki kun'yomi yang sama, namun artinya berbeda-beda. Selain itu, tidak semua karakter memiliki kun'yomi.

Kata "kun" dalam kun'yomi berasal kata "kunko" (訓詁?) (pinyin: xungu) yang berarti penafsiran kata demi kata dari bahasa kuno atau dialek dengan bahasa modern. Aksara Tionghoa adalah aksara asing bagi orang Jepang, sehingga kunko berarti penerjemahan aksara Tionghoa ke dalam bahasa Jepang. Arti kanji dalam bahasa Tionghoa dicarikan padanannya dengan kosakata asli bahasa Jepang.

Sebagai aksara asing, aksara Tionghoa tidak dapat diterjemahkan semuanya ke dalam bahasa Jepang. Akibatnya, sebuah karakter kanji mulanya dipakai untuk melambangkan beberapa kun'yomi. Pada masa itu, orang Jepang mulai sering membaca tulisan bahasa Tionghoa (kanbun) dengan cara membaca bahasa Jepang. Sebagai usaha membakukan cara membaca kanji, satu karakter ditetapkan hanya memiliki satu cara pengucapan Jepang (kun'yomi). Pembakuan ini merupakan dasar bagi tulisan campuran Jepang dan Tionghoa (wa-kan konkōbun) yang merupakan cikal bakal bahasa Jepang modern.

Kokkun

Kokkun (国訓?) adalah karakter kanji yang mendapat arti baru yang sama sekali berbeda dari arti semula karakter tersebut dalam bahasa Tionghoa, misalnya:

  • chū, okitsu, oki (jauh di laut, lepas pantai; pinyin: chōng, membilas; chòng, kuat)
  • 椿 tsubaki (Kamelia; pinyin: chūn, Ailanthus)

Jūbakoyomi dan yutōyomi

Gabungan dua karakter sering tidak mengikuti cara membaca on'yomi dan kun'yomi melainkan campuran keduanya yang disebut jūbakoyomi (重箱読み?). Karakter pertama dibaca menurut on'yomi dan karakter kedua menurut kun'yomi, misalnya:

  • 重箱 (jūbako)
  • 音読み (on'yomi)
  • 台所 (daidokoro)
  • 役場 (yakuba)
  • 試合 (shiai)
  • 団子 (dango).

Sebaliknya dalam yutōyomi (湯桶読み?), karakter pertama dibaca menurut kun'yomi dan karakter kedua menurut on'yomi, misalnya:

  • 湯桶 (yutō)
  • 合図 (aizu)
  • 雨具 (amagu)
  • 手帳 (techō)
  • 鶏肉 (toriniku).

Karakter buatan Jepang

Kokuji (国字 aksara nasional?) atau wasei kanji (和製漢字 kanji buatan Jepang?) adalah karakter kanji yang asli dibuat di Jepang dan tidak berasal dari Tiongkok. Kokuji sering hanya memiliki cara pembacaan kun'yomi dan tidak memiliki on'yomi, misalnya:

Beberapa kokuji dipungut oleh bahasa Tionghoa, misalnya: (xiàn).

Daftar kanji

Pemerintah Jepang mengeluarkan daftar aksara kanji yang disebut Tōyō kanji (当用漢字表? karakter masa kini) pada 16 November 1946 yang seluruhnya berjumlah 1.850 karakter. Daftar ini memuat aksara kanji yang telah disederhanakan atau shinjitai (新字体? karakter bentuk baru). Sebaliknya, aksara kanji yang belum disederhanakan disebut kyūjitai (旧字体?).

Daftar Tōyō kanji digantikan dengan daftar Jōyō kanji (常用漢字?) berisi 1.945 karakter yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Jepang pada 10 Oktober 1981. Hingga sebelum akhir Perang Dunia II, Kementerian Pendidikan sudah 4 kali mengeluarkan daftar Jōyō kanji (1923, 1931, 1942, dan 1945).

Kementerian Pendidikan juga memiliki daftar kyōiku kanji (教育漢字? kanji pendidikan) yang diambil dari daftar Jōyō kanji. Daftar ini berisi 1.006 karakter untuk dipelajari anak sekolah dasar di Jepang. Selain itu, pemerintah Jepang mengeluarkan daftar jinmeiyō kanji (人名用漢字? kanji nama orang) yang dipakai untuk menulis nama orang. Hingga 27 September 2004, daftar jinmeiyō kanji berisi 2.928 karakter (daftar Jōyō kanji ditambah 983 kanji nama orang).

Suku Ainu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Ainu)
Langsung ke: navigasi, cari
Suku Ainu

Jumlah populasi

Pada tahun 2004:

  • 50.000 jiwa memiliki lebih dari 50% keturunan Ainu
  • 150.000 penduduk Jepang memiliki sedikit keturunan Ainu
    • (beberapa memperkirakan bahwa jumlah orang Jepang yang memiliki beberapa kadar darah Ainu bisa mencapai 1.000.000; namun jumlah yang benar tidak diketahui secara persis)
  • Era Pra-Jepang: ~50.000, hampir semuanya Ainu totok.
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Jepang
Rusia.
Bahasa
bahasa Jepang, bahasa Ainu dan bahasa Rusia.
Agama
animisme.
Kelompok etnis terdekat

Ilmu genetika modern membuktikan bahwa suku Ainu termasuk ras Asia Timur. Mereka biasanya dikelompokkam dengan suku-sukubangsa non-Tungusik dari Sakhalin, lembah sungai Amur, dan semenanjung Kamchatka:

Museum dan pusat promosi suku Ainu di Sapporo
Museum dan pusat promosi suku Ainu di Sapporo

Suku Ainu (アイヌ?) IPA: [ʔáinu] (juga disebut Ezo dalam teks-teks sejarah) adalah sebuah kelompok etnis pribumi di Hokkaidō, Kepulauan Kuril, dan sebagian besar Sakhalin. Diduga ada lebih dari 150.000 orang Ainu saat ini; namun jumlahnya yang pasti tidak diketahui karena banyak orang Ainu yang menyembunyikan asal-usul mereka karena masalah etnis di Jepang. Seringkali orang Ainu yang masih hidup pun tidak menyadari garis keturunan mereka, karena orangtua dan kakek-nenek mereka merahasiakannya untuk melindungi anak-anak mereka dari masalah sosial.

Etnonim mereka yang paling terkenal berasal dari kata aynu, yang berarti "manusia" (dibedakan dengan kamuy, makhluk ilahi) dalam dialek Hokkaidō dari bahasa Ainu; Emishi, Ezo atau Yezo (蝦夷) adalah istilah-istilah bahasa Jepang, yang diyakini berasal dari bentuk leluhur kata Ainu Sakhalin modern enciw atau enju, yang juga berarti "manusia". Istilah Utari (ウタリ?) (artinya "kamerad" dalam bahasa Ainu) kini lebih disukai oleh sejumlah anggota kelompok minoritas ini.

Suku Ainu lama dipaksa oleh pemerintah Jepang untuk berasimiliasi dengan orang Jepang (suku Yamato). Pemerintah mengesahkan undang-undang pada tahun 1899 yang menyatakan bahwa suku Ainu adalah "bekas pribumi" (disebut "bekas" karena suku Ainu dimaksud akan berasimilasi). Pada 6 Juni 2008 parlemen Jepang mengesahkan resolusi yang mengakui bahwa suku Ainu adalah "suku pribumi dengan bahasa, kepercayaan, dan kebudayaan yang berbeda" sekaligus membatalkan undang-undang tahun 1899 tersebut.

[sunting] Asal-usul

Asal-usul suku Ainu belum sepenuhnya diketahui. Mereka seringkali dianggap Jōmon-jin, penduduk asli Jepang dari periode Jōmon. Penelitian DNA mutakhir mengatakan bahwa mereka adalah keturunan dari suku Jomon kuno di Jepang.[1] "Suku Ainu yang tinggal di tempat ini seratus ribu tahun sebelum Anak-anak Matahari datang" dikisahkan dalam salah satu dari Yukar Upopo (legenda Ainu) mereka.[2]

Budaya Ainu berasal dari sekitar 1200 M[3] dan penelitian mutakhir berpendapat bahwa hal ini berasal dalam penggabungan budaya Okhotsk dan Satsumon.[4] Ekonomi mereka didasarkan pada pertanian maupun berburu, menangkap ikan dan mengumpul.[5]

Laki-laki Ainu umumnya memiliki rambut yang lebat. Banyak peneliti awal menduga bahwa mereka keturunan Kaukasus, meskipun uji DNA mutakhir tidak menemukan garis keturunan Kaukasus. Uji genetik suku Ainu membuktikan bahwa mereka tergolong terutama kepada grup haplo-Y D.[6]

Satu-satunya tempat di luar Jepang di mana grup haplo-Y D lazim ditemukan adalah Tibet dan Kepulauan Andaman di Samudra Hindia.[7] Dalam sebuah studi oleh Tajima et al. (2004), dua dari 16 sampel (atau 12,5%) laki-laki Ainu ditemukan tergolong dalam grup haplo C3, yaitu grup haplo dengan kromosom Y yang paling umum di antara penduduk-penduduk pribumi di Rusia Timur Jauh dan Mongolia;[6] Hammer et al. (2006) menguji empat sampel lagi dari laki-laki Ainu dan menemukan bahwa salah satunya tergolong ke dalam grup haplo C3.[8]

Beberapa penelitia berspekulasi bahwa pembawa grup haplo C3 yang minoritas di antara suku Ainu ini mungkin mencerminkan suatu tingka tertentu dari pengaruh genetik satu arah dari suku Nivkh, yang dengannya suku Ainu telah lama memiliki interaksi budaya.[6] Menurut Tanaka et al. (2004), garis mtDNA mereka umumnya terdiri dari grup haplo Y (21,6%) dan grup haplo M7a (15,7%).[9] Evaluasi kembali belakangan ini tentang ciri-ciri tulang tengkorak mereka menunjukkan bahwa suku Ainu lebih mirip dengan suku Okhotsk daripada dengan suku Jōmon.[10] Hal ini sesuai dengan rujukan kepada budaya Ainu sebagai gabungan dari budaya Okhotsk dan Satsumon yang dirujuk di atas.