Menu

Friday, 4 September 2009

Suratku Untukmu 1

Anakku…,surat ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara. Ia coba untuk menulis di atas keraguan dan rasa malu. Setelah berfikir panjang, ia goreskan pena berulang kali akan tetapi selalu terhalang oleh tangis dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula hatinya terluka.


Anakku… setelah umur yang panjang ini, kulihat engkau telah menjadi laki-laki yang dewasa, cerdas, dan bijak. Karenanya engkau pantas untuk membaca tulisan ibu ini. Sekalipun nantinya engkau sobek sebagaimana sebelumnya engkau telah menyobek hati ibumu.
Wahai anakku…25 thn berlalu dan tahun2 itu adalah tahun2 kebahagiaan dalam hidupku. Ketika itu dokter memberitahukanku bahwa aku positif hamil dan semua para ibu mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur gembira bersama bahagia sebagaimana ia adalah awal mula perubahan fisik dan emosi. Setelah kabar gembira tersebut, aku membawamu 9 bulan. Tidur dalam kesulitan, berdiri dalam kesulitan, makan dalam kesulitan, bernapas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidaklah mengurangi rasa cinta dan kasih sayangku padamu. Bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu. Aku mengandungmu wahai anakku dalam kondisi lemah di atas lemah. Akan tetapi aku gembira setiap kali aku melihat gerakanmu didalam perutku. Aku gembira setiap kali aku menimbang tubuhku bertambah dgn bertambah berat badanmu padahal kandungan itu sangat berat wahai anakku.
Penderitaan yang berkepanjangan itu, telah sampai ketika fajar malam itu yaitu ketika mata ini tdk bisa dipicingkan. Aku merasakan sakit yg tidak tertahankan dan takut yang tidak bisa dilukiskan. Sakit itu terus berlanjut shg aku tdk lagi menangis. sebanyak itu pula aku melihat kemaitian dihadapanku sampai engkau benar2 keluar ke alam dunia. Ketika aku melihat engkau keluar ke alam dunia, bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu. Dengan itu semua telah sirna, semua keletihan dan kesedihanku. Bahkan kasihku bertambah dgn kuatnya sakitku. Aku peluk cium dirimu sebelum aku meneguk setetes air.
Wahai anakku, telah berlalu tahun dan usiamu sedangkan aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku, memberi saripati hidupku padamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, aku berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya agar aku melihat senyumanmu. Setiap harinya aku berharap bahwa engkau tersenyum. Kebahagiaanku setiap saat, yang aku harapkan adalah permintaan dari mulut mungilmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku di hari2 masa kecilmu. Lalu berlalulah hari..sedangkan aku setia menjadi pelayan yg tidak pernah lalai, dayang yg tidak pernah berhenti, pekerja yg tidak pernah mengenal lelah. Mendo’akan selalu kebaikan dan taufik untukmu. Itu semua aku perhatikan dirimu dari hari ke hari sampai engkau dewasa. Telah tegak pula badanmu. Telah nampak jiwa laki-lakimu pada tingkah laku dan keseharianmu. Saat itu pula aku melirik ke kiri dan ke kanan agar engkau mendapat pasangan hidup. Datanglah hari perkawinanmu wahai anakku…berarti hampir dekat pula kepergianmu dariku. Tatkala itu hatiku serasa teriris, air mataku mengalir bercampur kebahagiaan dengan kesedihan. Bagaimana tidak, aku bahagia karena engkau akan mendapat pasangan akan tetapi bersamaan dengan itu aku sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu pun berlalu…seakan-akan menyeretnya dengan berat. Kiranya, setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu. Waktu sudah berlalu…setelah engkau menikah, setelah engkau berkeluarga, setelah engkau bawa istri dan anak-anakmu dari rumahku. Waktu bagiku serasa lama, sangat lamban. Perkawinan itu menyebabkan engkau tidak lagi mengenal diriku. Senyummu telah sirna dihadapanku sebagaimana sirnanya matahari ditutupi oleh kegelapan malam. Suaramu telah tenggelam sebagaimana tenggelamnya batu dijatuhkan ke dalam kolam yang sunyi dan kelam. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau benar-benar melupakanku dan melupakan hakku.

0 comments: