Menu

Friday, 27 February 2009

Pembahasan Antropologi

AGAMA DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT



1. PENGERTIAN AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Agama

Berasal dari bahasa sansekerta artinya menunjukkan kepercayaan manusia berdasarkan wahyu dari Tuhan.

Secara etimologis berasal dari suku kata A-Gam-A berarti tidak pergi atau tetap atau kekal jadi agama dapat diartikan pedoman hidup yang kekal.




Menurut Kitab Sunarigama, berasal dari kata A-Ga-Ma berarti ajaran tentang hal-hal yang sifatnya misteri.

Menurut KBBI agama adalah ajaran atau system yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan YME serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya.



Kepercayaan atau Religi

Berasal dari bahasa Latin Religere/religare artinya berhati-hati dan berpegangteguh pada aturan-aturan dasar.

Jadi kepercayaan atau religi berarti kecenderungan batin (rohani) manusia yang terikat dengan hal-hal yang gaib, suci(kekuatan alam), dan tabu.



2. AGAMA BUMI DAN AGAMA WAHYU

AGAMA BUMI

Agama bumi = agama wad’I = agama budaya yaitu agama duniawi yang merupakan hasil ciptaan akal dan perilaku manusia. Misalnya berbagai kepercayaan masyarakat



AGAMA WAHYU

Agama Wahyu = agama Samawi yaitu agama yang bersumber dari wahyu Tuhan misalnya Islam, Kristen, katolik dan Yahudi.



Perbedaan Agama Bumi dan agama Wahyu

AGAMA wahyu


AGAMA bumi

Konsep Ketuhanan :Monotheis

Disampaikan : rasul atau utusan Tuhan

Mempunyai Kitab Suci

Tidak terpengaruh oleh perubahan masyaraklat

Kebenaran ajaran dasarnya tahan uji dan kritik

Sistem berpikirnya tidak sama dengan system berpikir masyarakat penganutnya




Konsep Ketuhanan : ATheis

Disampaikan: manusia (hasil pikiran dan perilaku MAnusia)

Tidak memiliki Kitab Suci

Sangat terpengaruh oleh perkembangan dan perubahan masyarakat

Kebenaran ajaran dasarnya tidak tahan kritik terhadap akal manusia

Sistem berpikirnya sama dengan system berpikir masyarakat penganutnya



Jenis Agama dan Kepercayaan

1. Animisme

Berasal dari bahasa latin anima yang artinya roh. Adalah kepercayaan dimana disekeliling alam tempat tinggal manusia banyak terdapat roh gaib. Agar diperoleh hubungan harmonis dengan roh gaib, manusia mengadakan berbagai upacara keagamaan :pemujaan, sesajen, dll

2. Dinamisme.

dari bahasa Latin Dinamos artinya tenaga atau kekuatan yaitu kepercayaan bahwa disekeliling alam manusia terdapat berbagai tenaga yang memiliki kekuatan gaib yang sakti, Kekuatan gaib berasal dari berbagai gejala alam, misalnya matahari, bulan, air, api, angin. Kekuatan gaib juga berasal dari roh manusia atau binatang yang sudah mati, istilah lain dari kepercayaan ini adalah animalisme Kepercayaan ini juga menganggap segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengauhi keberhasilan dan kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup misalnya kepercayaan adanya kekuatan gaib pada benda tertentu seperti akik atau keris, kepercayaan ini disebut Fethisiisme

3. Politheisme

Berasal dari bahasa latin poly artinya banyak dan theos artinya Tuhan. Jadi Politheisme adalah kepercayaan yang menganggap Tuhan atau dewa itu banyak

4. Sinkretisme

Adalah perpaduan beberapa kegiatan, istilah keagamaan, tatacara upacara, atau perlengkapan upacara dari beberapapaham atau aliran yang berbeda. Misalnya: Islam Kejawen adalah perpaduan dari nilai keagamaan kejawen tradisisonal (hindu) dengan Islam.

5. Monotheisme

Adalah agama atau kepercayaan kepada satu Tuhan (misalnya agama Wahyu).



3. AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI INDONESIA

1. Lima Agama Besar

a. Hindu

Agama yang paling tua di Indonesia. Berkembang sejak kerajaan Kutai, Kediri, Singasari, Majapahit, PAjang. Sekarang banyak terdpat di Bali, NTB,

Empat upacara umat Hindu:

1) Bhakti marga: upacara adat, merawat tempat suci, pasrah pada Tuhan

2) Karma MArga : cara bertingkah laku, beragama dengan taat, giat bekerja

3) Jnana Marga: cara bijak dan pandai; mempelajari KS,

4) Yoga Marga ( mendisiplinkan diri secara rohani): pengendalian hawa nafsu, mengekang diri dari kenikmatan duniawi, mengucap mantra.

Hari raya:

Nyepi, Galungan



b. Budha

Tanda kebesaran agama Budha di Indonesia adalah Candi Borobudur di JAwa Tengah. Ajaran Budha mendorong ummatnya mengembangkan empat jiwa positif yaitu:

1) mengasihi semua makhluk yang mempunyai perasaaan dengan sepenuh hati (Metta)

2) bersuka cita dalam kebahagiaan makhluk lain dan tidak mendengkinya (mudita)

3) berbagi penderitaan dengan makhluk lain ( KAruna)

4) tetap damai dan bebas ( upekha)

HAri raya Budha : Waisyak



c. Islam

Merupakan agama mayoritas di Indonesia, Islam di masyarakat Jawa oleh Clifford Geertzd dibedakan menjadi 3 golongan:

1) Islam Santri : golongan islam taat

2) Islam abangan : Golongan Islam yang yang hanya menggunakan Islam sebagai kedok/topeng aslinya golongan ini tidak memahami Islam dengan baik.Mereka masih banyak yang memiliki kepercayaan lama

3) Islam Priyayi : Golongan islam yang terdiri dari kaum bangsawan, keluarga istana, pejabat pemerintah dan kaum terpelajar. Golongan ini menjadi Islam karena Politik, kedudukan atau jabatan



d. Kristen

Agama terbesar ke dua setelah Islam.



e. Katholik : agama terbesar ketiga setelah Islam dan Kristen banyak dianut oleh masyarakat di Papua, NTT, maluku, dan kota-kota besar di Indonesia



2. Kepercayaan-kepercayaan Masyarakat

Beberapa daerah di Indonesia memiliki kepercayaan yang berbeda-beda antara lain:

a. Kalimantan Tengah

Kepercayaan masyarakat Kalimantan Tengah adalah KAharingan, yang artinya kehidupan. Mereka percaya kepada Ranying Hatalla yaitu Tuhannya yang menciptakan kehidupan dan mengatur segala sesuatu menuju kesempurnaan kekal abadi.

Dalam Kaharingan dipercaya bahwa alam semesta dibedakan menjadii 3 bagian yaitu alam bawah (pantai Danum Kalunen), Alam Atas, bagian langit ketujuh



b. Nias (Sumatera Utara)

Suku Nias memiliki kepercayaan yang disebut pelebegu, istilah yang diberikan oleh para pendatang yang berarti penyembah roh. Menurut kepercayaan ini manusia memiliki dua macam tubuh yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh Halus dibagi lagi menjadi 2 macam yaitu moso (nafas) dan lumo-lumo (bayangan)



c. Jawa

MAsyarakat jawa (jawa tengan dan JAtim) banyak menganut tradisi kebatinan dan kejawen.



d. Mentawai

Berada dipedalam Siberut. Masyarakatnya percaya bahwa setiap benda, manusia, hewan, dan tumbuhan memiliki jiwa. Kekuatan gaib yang ada di setiap benda disebut BAJOU.



e. BATAK

Masrakat batak memiliki kepercayaan animisme. Mereka memiliki kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Mereka percaya terhadap Roh. Roh orang mati disebut sebagai Begu. Roh orang yang masih hidup adalah Tondi, Dan orang yang memiliki keistimewaan tertentu disebut sebagai Sahala.



f. Baduy

Orang Baduy percaya kepada Tuhan yang disebut Batara Tunggal.

Segala kehidupan social dan kebiasaan mereka diuraikan dalam pikukuh yaitu seperangkat aturan perilaku yang diturunkan oleh leluhur. Pelanggar pikukuh harus mengikuti pembersihan dan kemudian dibuang dari baduy dalam (kampong tangtu) ke daerah luar (kampong dangka)



g. Tengger

Orang Tengger beragama Hindu yang lebih dekat ke Kejawen.



h. Asmat

Orang Asmat percaya terhadap roh leluhur.







4. Perilaku Keagamaan Dalam Kehidupan Bermasyarakat

1. Perilaku keagamaan Positif:

a. ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga sesorang selalu berperilaku baik, dan menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan, integrasi nasional

b. sikap fanatic yang bijak dan terkendali terhadap ajaran agama akan meningkatkan solidaritas dii antara pemeluknya. Akibatnya muncul persaudaraan, kesetiakawanan, gotong royong tanpa pandang kelas social, dan perbedaan bangsa

2. Perilaku Keagamaan Negatif

a. Fanatisme berlebihan dapat menimbulkan perpecahan dan memicu timbulnya konflik destruktif. Perilaku ini menimbulkan intoleransi, tidak menghargai dan memberi kesempatan orang lain menjalankan ajaran agamanya

b. Kesombongan religius berlebihan, sikap memandang agamanya yang paling benar serta meremehkan dan merendahkan agama lain. Perilaku ini dapat memicu pemaksaan kehendak/ajaran agama dengan cara kekerasan dan anarkis



5. Fungsi Agama
1. Fungsi edukatif : agama bertugas mengajar dan membimbing masyarakat. Agama menyampaikan ajaran-ajaran melalui upacara keagamaan, dakwah dan kotbah, meditasi, pendalaman rohani dll.
2. Fungsi Penyelamatan

Agama memberikan anjuran dan perintah untuk selalu berbuat kebaikan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan

3. Fungsi pengawasan Sosial

Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada. Kaidah yang baik dikukuhkan sebagai norma dan kaidah yang buruk sebagai larangan atau tabu. Fungsi pengawasan diperkuat dengan adanya sanksi bagi manusia yang melanggar kaidah tersebut.

4. Memupuk persaudaraan

Setiap agama menganjurkan agar umat manusia saling mencintai dan menghindari permusuhan. Dengan adanya rasa saling memupuk persaudaraan, cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud.



6. Fungsi Agama Dan Kepercayaan dalam Proses Integrasi Bangsa
1. mengatur perilaku manusia melalui anjuran dan larangan sehingga menusia senantiasa berperilaku benar
2. mengendalikan kehidupan masyarakat melalui konsep dosa(ganjaran terhadap perilaku salah dalam suatu ajaran agama)
3. memelihara solidaritas social baik intern maupun ekstern. Solidaritas intern : persatuan di antara sesame umat agama. Solidaritas ekstern : persatuan antar umat beragama yang berbeda. Solidaritas dapat dipupuk melalui penanaman sikap saling mencintai sesame manusia, sikap saling toleransi dan menghormati.
4. ajaran agama menenteramkan batin manusia. Akibatnya masyarakat dapat berpikir secara jernih dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sehingga terhindar dari perilaku anarkis yang dapat mengancam integrasi bangsa.

AGAMA DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT



1. PENGERTIAN AGAMA DAN KEPERCAYAAN

Agama

Berasal dari bahasa sansekerta artinya menunjukkan kepercayaan manusia berdasarkan wahyu dari Tuhan.

Secara etimologis berasal dari suku kata A-Gam-A berarti tidak pergi atau tetap atau kekal jadi agama dapat diartikan pedoman hidup yang kekal.




Menurut Kitab Sunarigama, berasal dari kata A-Ga-Ma berarti ajaran tentang hal-hal yang sifatnya misteri.

Menurut KBBI agama adalah ajaran atau system yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan YME serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya.



Kepercayaan atau Religi

Berasal dari bahasa Latin Religere/religare artinya berhati-hati dan berpegangteguh pada aturan-aturan dasar.

Jadi kepercayaan atau religi berarti kecenderungan batin (rohani) manusia yang terikat dengan hal-hal yang gaib, suci(kekuatan alam), dan tabu.



2. AGAMA BUMI DAN AGAMA WAHYU

AGAMA BUMI

Agama bumi = agama wad’I = agama budaya yaitu agama duniawi yang merupakan hasil ciptaan akal dan perilaku manusia. Misalnya berbagai kepercayaan masyarakat



AGAMA WAHYU

Agama Wahyu = agama Samawi yaitu agama yang bersumber dari wahyu Tuhan misalnya Islam, Kristen, katolik dan Yahudi.



Perbedaan Agama Bumi dan agama Wahyu

AGAMA wahyu


AGAMA bumi

Konsep Ketuhanan :Monotheis

Disampaikan : rasul atau utusan Tuhan

Mempunyai Kitab Suci

Tidak terpengaruh oleh perubahan masyaraklat

Kebenaran ajaran dasarnya tahan uji dan kritik

Sistem berpikirnya tidak sama dengan system berpikir masyarakat penganutnya




Konsep Ketuhanan : ATheis

Disampaikan: manusia (hasil pikiran dan perilaku MAnusia)

Tidak memiliki Kitab Suci

Sangat terpengaruh oleh perkembangan dan perubahan masyarakat

Kebenaran ajaran dasarnya tidak tahan kritik terhadap akal manusia

Sistem berpikirnya sama dengan system berpikir masyarakat penganutnya



Jenis Agama dan Kepercayaan

1. Animisme

Berasal dari bahasa latin anima yang artinya roh. Adalah kepercayaan dimana disekeliling alam tempat tinggal manusia banyak terdapat roh gaib. Agar diperoleh hubungan harmonis dengan roh gaib, manusia mengadakan berbagai upacara keagamaan :pemujaan, sesajen, dll

2. Dinamisme.

dari bahasa Latin Dinamos artinya tenaga atau kekuatan yaitu kepercayaan bahwa disekeliling alam manusia terdapat berbagai tenaga yang memiliki kekuatan gaib yang sakti, Kekuatan gaib berasal dari berbagai gejala alam, misalnya matahari, bulan, air, api, angin. Kekuatan gaib juga berasal dari roh manusia atau binatang yang sudah mati, istilah lain dari kepercayaan ini adalah animalisme Kepercayaan ini juga menganggap segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengauhi keberhasilan dan kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup misalnya kepercayaan adanya kekuatan gaib pada benda tertentu seperti akik atau keris, kepercayaan ini disebut Fethisiisme

3. Politheisme

Berasal dari bahasa latin poly artinya banyak dan theos artinya Tuhan. Jadi Politheisme adalah kepercayaan yang menganggap Tuhan atau dewa itu banyak

4. Sinkretisme

Adalah perpaduan beberapa kegiatan, istilah keagamaan, tatacara upacara, atau perlengkapan upacara dari beberapapaham atau aliran yang berbeda. Misalnya: Islam Kejawen adalah perpaduan dari nilai keagamaan kejawen tradisisonal (hindu) dengan Islam.

5. Monotheisme

Adalah agama atau kepercayaan kepada satu Tuhan (misalnya agama Wahyu).



3. AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI INDONESIA

1. Lima Agama Besar

a. Hindu

Agama yang paling tua di Indonesia. Berkembang sejak kerajaan Kutai, Kediri, Singasari, Majapahit, PAjang. Sekarang banyak terdpat di Bali, NTB,

Empat upacara umat Hindu:

1) Bhakti marga: upacara adat, merawat tempat suci, pasrah pada Tuhan

2) Karma MArga : cara bertingkah laku, beragama dengan taat, giat bekerja

3) Jnana Marga: cara bijak dan pandai; mempelajari KS,

4) Yoga Marga ( mendisiplinkan diri secara rohani): pengendalian hawa nafsu, mengekang diri dari kenikmatan duniawi, mengucap mantra.

Hari raya:

Nyepi, Galungan



b. Budha

Tanda kebesaran agama Budha di Indonesia adalah Candi Borobudur di JAwa Tengah. Ajaran Budha mendorong ummatnya mengembangkan empat jiwa positif yaitu:

1) mengasihi semua makhluk yang mempunyai perasaaan dengan sepenuh hati (Metta)

2) bersuka cita dalam kebahagiaan makhluk lain dan tidak mendengkinya (mudita)

3) berbagi penderitaan dengan makhluk lain ( KAruna)

4) tetap damai dan bebas ( upekha)

HAri raya Budha : Waisyak



c. Islam

Merupakan agama mayoritas di Indonesia, Islam di masyarakat Jawa oleh Clifford Geertzd dibedakan menjadi 3 golongan:

1) Islam Santri : golongan islam taat

2) Islam abangan : Golongan Islam yang yang hanya menggunakan Islam sebagai kedok/topeng aslinya golongan ini tidak memahami Islam dengan baik.Mereka masih banyak yang memiliki kepercayaan lama

3) Islam Priyayi : Golongan islam yang terdiri dari kaum bangsawan, keluarga istana, pejabat pemerintah dan kaum terpelajar. Golongan ini menjadi Islam karena Politik, kedudukan atau jabatan



d. Kristen

Agama terbesar ke dua setelah Islam.



e. Katholik : agama terbesar ketiga setelah Islam dan Kristen banyak dianut oleh masyarakat di Papua, NTT, maluku, dan kota-kota besar di Indonesia



2. Kepercayaan-kepercayaan Masyarakat

Beberapa daerah di Indonesia memiliki kepercayaan yang berbeda-beda antara lain:

a. Kalimantan Tengah

Kepercayaan masyarakat Kalimantan Tengah adalah KAharingan, yang artinya kehidupan. Mereka percaya kepada Ranying Hatalla yaitu Tuhannya yang menciptakan kehidupan dan mengatur segala sesuatu menuju kesempurnaan kekal abadi.

Dalam Kaharingan dipercaya bahwa alam semesta dibedakan menjadii 3 bagian yaitu alam bawah (pantai Danum Kalunen), Alam Atas, bagian langit ketujuh



b. Nias (Sumatera Utara)

Suku Nias memiliki kepercayaan yang disebut pelebegu, istilah yang diberikan oleh para pendatang yang berarti penyembah roh. Menurut kepercayaan ini manusia memiliki dua macam tubuh yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh Halus dibagi lagi menjadi 2 macam yaitu moso (nafas) dan lumo-lumo (bayangan)



c. Jawa

MAsyarakat jawa (jawa tengan dan JAtim) banyak menganut tradisi kebatinan dan kejawen.



d. Mentawai

Berada dipedalam Siberut. Masyarakatnya percaya bahwa setiap benda, manusia, hewan, dan tumbuhan memiliki jiwa. Kekuatan gaib yang ada di setiap benda disebut BAJOU.



e. BATAK

Masrakat batak memiliki kepercayaan animisme. Mereka memiliki kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Mereka percaya terhadap Roh. Roh orang mati disebut sebagai Begu. Roh orang yang masih hidup adalah Tondi, Dan orang yang memiliki keistimewaan tertentu disebut sebagai Sahala.



f. Baduy

Orang Baduy percaya kepada Tuhan yang disebut Batara Tunggal.

Segala kehidupan social dan kebiasaan mereka diuraikan dalam pikukuh yaitu seperangkat aturan perilaku yang diturunkan oleh leluhur. Pelanggar pikukuh harus mengikuti pembersihan dan kemudian dibuang dari baduy dalam (kampong tangtu) ke daerah luar (kampong dangka)



g. Tengger

Orang Tengger beragama Hindu yang lebih dekat ke Kejawen.



h. Asmat

Orang Asmat percaya terhadap roh leluhur.







4. Perilaku Keagamaan Dalam Kehidupan Bermasyarakat

1. Perilaku keagamaan Positif:

a. ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga sesorang selalu berperilaku baik, dan menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan, integrasi nasional

b. sikap fanatic yang bijak dan terkendali terhadap ajaran agama akan meningkatkan solidaritas dii antara pemeluknya. Akibatnya muncul persaudaraan, kesetiakawanan, gotong royong tanpa pandang kelas social, dan perbedaan bangsa

2. Perilaku Keagamaan Negatif

a. Fanatisme berlebihan dapat menimbulkan perpecahan dan memicu timbulnya konflik destruktif. Perilaku ini menimbulkan intoleransi, tidak menghargai dan memberi kesempatan orang lain menjalankan ajaran agamanya

b. Kesombongan religius berlebihan, sikap memandang agamanya yang paling benar serta meremehkan dan merendahkan agama lain. Perilaku ini dapat memicu pemaksaan kehendak/ajaran agama dengan cara kekerasan dan anarkis



5. Fungsi Agama
1. Fungsi edukatif : agama bertugas mengajar dan membimbing masyarakat. Agama menyampaikan ajaran-ajaran melalui upacara keagamaan, dakwah dan kotbah, meditasi, pendalaman rohani dll.
2. Fungsi Penyelamatan

Agama memberikan anjuran dan perintah untuk selalu berbuat kebaikan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan

3. Fungsi pengawasan Sosial

Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada. Kaidah yang baik dikukuhkan sebagai norma dan kaidah yang buruk sebagai larangan atau tabu. Fungsi pengawasan diperkuat dengan adanya sanksi bagi manusia yang melanggar kaidah tersebut.

4. Memupuk persaudaraan

Setiap agama menganjurkan agar umat manusia saling mencintai dan menghindari permusuhan. Dengan adanya rasa saling memupuk persaudaraan, cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud.



6. Fungsi Agama Dan Kepercayaan dalam Proses Integrasi Bangsa
1. mengatur perilaku manusia melalui anjuran dan larangan sehingga menusia senantiasa berperilaku benar
2. mengendalikan kehidupan masyarakat melalui konsep dosa(ganjaran terhadap perilaku salah dalam suatu ajaran agama)
3. memelihara solidaritas social baik intern maupun ekstern. Solidaritas intern : persatuan di antara sesame umat agama. Solidaritas ekstern : persatuan antar umat beragama yang berbeda. Solidaritas dapat dipupuk melalui penanaman sikap saling mencintai sesame manusia, sikap saling toleransi dan menghormati.
4. ajaran agama menenteramkan batin manusia. Akibatnya masyarakat dapat berpikir secara jernih dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sehingga terhindar dari perilaku anarkis yang dapat mengancam integrasi bangsa.

Thursday, 26 February 2009

HATI DARI BAJA

Waktu itu di tepi pantai duduklah seorang wanita di atas karpetnya dan didekatnya terhidang secangkir teh. Dia memandangi lingkaran matahari yang sedang tenggelam di ufuk untuk melewatkan satu hari dari hidupnya yang sudah mencapai usia 70 tahun. Dia memandangi air laut yang memantulkan sinar ufuk yang berwarna kuning keemasan.


Terlihat sangat indah. Akan tetapi, dia tidak pernah melupakan berapa banyak tragedi dan cerita yang bergejolak di dalam hatinya. Lalu dia kembali ke tempatnya, mengingat-ngingat hakikat kehidupannya yang ternyata mirip dengan laut di hadapannya.
Di dekatnya duduklah sebuah keluarga yang datang ke laut untuk memecah rutinitas kehidupan sehari-hari. Juga untuk melupakan sebagian dari mesin kehidupan sehari-hari dengan segala hiruk-pikuknya dan ketegangan jiwa yang ditimbulkannya.
Perhatikanlah, sebagian anggota keluarga menghabiskan waktu mereka sambil mengobrol ke sana kemari dan menyantap makanan mereka hingga lewat tengah malam. Sementara nenek tua itu tetap duduk seorang diri sambil minum teh memandangi lautan. Tiba-tiba salah satu dari mereka tidak kuasa menahan dirinya dan berkata : “Apakah engkau ingin kami mengantarmu ke suatu tempat? Jangan-jangan ada sesuatu yang buruk. Kami tidak melihat siapa-siapa di dekatmu.”
Nenek itu menjawab : “Entahlah, tapi ia meninggalkan secarik kertas di tanganku.” Laki-laki itu langsung mengambilnya dan membacanya. Ternyata tertulis, “Siapapun yang membaca tulisan ini harus mengirimkan wanita ini ke panti jompo.” Mereka semua tersentak kaget ketika mengetahui tragedi yang menimpa nenek ini. Padahal, sepanjang hidupnya dia pernah menyusui, begadang dan hamil untuk anak durhaka yang membuangnya begitu saja ke tepi laut ketika usianya sudah senja. Persis seperti laut yang membuang buihnya ke pantai.
Hendaklah kita semua mengambil pelajaran berharga dari kisah ini. Dan hendaklah kita tahu bahwa akhir perjalanan orang yang berbuat seperti itu adalah sangat buruk. Kita semua harus mendidik putera-puteri kita dengan pendidikan yang baik, agar kita dapat menjamin bakti mereka di dalam kehidupan dan doa mereka di dalam kematian.

[Dicuplik dari : Ahmad Sâlim Bâduwaylân, Mausū’ah al-Qoshosh al-Mu`atstsiroh, Ind : ”Malam Pertama Setelah Itu Air Mata”, Pustaka ELBA, Surabaya : 1428/2007]

Ibrah : Wahai hamba Allôh, ingatlah firman Rabb-mu :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS al-Ahqâf : 15)
Allôh juga berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqmân : 14)
Lantas, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?!!

BIOGRAFI W. S. RENDRA

Sumber: www.wikipedia.com

Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.



Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu.
Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Beberapa Karya
Drama
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
SEKDA (1977)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Kasidah Barzanji
Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
Sajak/Puisi
Jangan Takut Ibu
Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Empat Kumpulan Sajak
Rick dari Corona
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Nyanyian Angsa
Pesan Pencopet kepada Pacarnya
Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
Perjuangan Suku Naga
Blues untuk Bonnie
Pamphleten van een Dichter
State of Emergency
Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
Mencari Bapak
Rumpun Alang-alang
Surat Cinta
Sajak Rajawali
Sajak Seonggok Jagung

BIOGRAFI TENGKU AMIR HAMZAH

Sumber: www.puitika.net

Nama lengkap Amir Hamzah adalah Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pamannya, Machmud, adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibu kota Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941.


Ayahnya, Tengku Muhammad Adil (yang tidak lain adalah saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur.
Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.
Amir Hamzah tidak dapat dipisahkan dari kesastraan Melayu. Oleh karena itu, tidak heran jika dalam dirinya mengalir bakat kepenyairan yang kuat. Buah Rindu adalah kumpulan puisi pertamanya yang menandai awal kariernya sebagai penyair. Puncak kematangannya sebagai penyair terlihat dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi dan Setanggi Timur. Selain menulis puisi, Amir Hamzah juga menerjemahkan buku Bagawat Gita.
Riwayat hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Ketika itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai.
Ketika Sekutu datang dan berusaha merebut hati para sultan, kesadaran rakyat terhadap revolusi menggelombang. Mereka mendesak Sultan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Lalu, Revolusi Sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah. Pada dini hari 20 Maret 1946 mereka dihukum pancung.
Namun, kemudian hari terbukti bahwa Amir Hamzah hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revuolusi sosial. Pada tahun 1975 Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.

BIOGRAFI TAUFIQ ISMAIL

Sumber: www.wikipedia.com, http://jalansetapak.wordpress.com

Dilahirkan di Bukittinggi (25 Juni 1935) dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.



Semasa kuliah aktif sebgai Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962). Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor.
Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ‘66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRT, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia(Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)
Penghargaan
Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, AS (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).

BIOGRAFI SITOR SITUMORANG

Sumber: www.tokohindonesia.com

Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924 ini sudah menjadi seorang Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan Sibolga, pada saat usianya masih sangat belia 19 tahun, di tahun 1943. Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah bersentuhan dengan profesi jurnalistik.




Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas permintaan resmi dari Menteri Penerangan Muhammad Natsir, Sitor menjadi koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota Medan, Sumatera Utara. Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.
Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik sebagai sastrawan Angkatan ’45 yang kritis, bahkan menjadi susah memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau politisi, agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat berlangsung Konferensi Federal di Bandung, tahun 1947.
Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia 23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.
Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai negara boneka dalam wadah negara federal.
Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan Hamid. Materi wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab, kepada Sultan Hamid Sitor berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dan uniknya dia jawab dengan, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.
Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya. Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan eksistensi NKRI.
Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang tahun dengan matang. Ia merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, antara lain dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi dan berbagai dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan sastra dan politik di Tanah Air.
Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.
Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu saja. Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.
Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).
Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.
Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.
Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apapun, termasuk ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.
Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.
Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Tanau Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.
Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.
“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.
Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya yang sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.
Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.
Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).
Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.
Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.
Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.
Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda, Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan Waspada sebuah harian lokal terbitan Kota Medan, Sumatera Utara.
Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang dimuat di majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.
Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS.

BIOGRAFI SAPARDI DJOKO DAMONO

Sumber:

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir 20 Maret 1940 di Surakarta) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.



Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah “Horison”, “Basis”, dan “Kalam”.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Karya-karya
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
“Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969)
“Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
“Mata Pisau” (1974)
“Sepilihan Sajak George Seferis” (1975; terjemahan karya George Seferis)
“Puisi Klasik Cina” (1976; terjemahan)
“Lirik Klasik Parsi” (1977; terjemahan)
“Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya)
“Perahu Kertas” (1983)
“Sihir Hujan” (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
“Water Color Poems” (1986; translated by J.H. McGlynn)
“Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988; translated by J.H. McGlynn)
“Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
“Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
“Hujan Bulan Juni” (1994)
“Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling)
“Arloji” (1998)
“Ayat-ayat Api” (2000)
“Pengarang Telah Mati” (2001; kumpulan cerpen)
“Mata Jendela” (2002)
“Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002)
“Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)
“Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
“Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.
Album “Hujan Bulan Juni” (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu.
Album “Hujan Dalam Komposisi” (1996) dari duet Reda dan Ari.
Album “Gadis Kecil” dari duet Dua Ibu
Album “Becoming Dew” (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu
satu lagu dari “Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti”, berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata “Ars Amatoria” yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.
Buku
“Sastra Lisan Indonesia” (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
“Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan”
“Dimensi Mistik dalam Islam” (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.
Pustaka Firdaus
“Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia” (2004), salah seorang penulis.
“Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas” (1978).
“Politik ideologi dan sastra hibrida” (1999).
“Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (2005).
“Babad Tanah Jawi” (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

BIOGRAFI MUHAMMAD YAMIN

Sumber:

Prof. Mohammad Yamin, SH, penyair yang dikenal sebagai pemula bentuk soneta dalam kesusastraan Indonesia modern ini dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta.



Di zaman penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya kesusastraan Belanda. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda Sumatera’ (1926--1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932--1938).
Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953--1955), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961--1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau. Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914. Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Keith Robert Foulcher (1974) dalam disertasinyha mengemukakan bahwa konsepsi Yamin tentang soneta dipengaruhi sastra Belanda dan tradisi kesusastraan Melayu. Karena itu, soneta Yamin bukanlah suatu adopsi bentuk eropa dalam keseluruhan kompleksitas strukturalnya, tetapi lebih merupakan suatu pengungkapan yang visual, sesuatu yang bersifat permukaan saja dari soneta Belanda, yang masih memiliki ekspresi puitis yang khas Melayu.
Berikut ini ditampilkan sebuah soneta Yamin yang masih dilekati tradisi sastra Melayu dan yang menggambarkan kerinduan dan kecitaan penyair pada tanah kelahiran.
Di Lautan Hindia
Mendengarkan ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Melagukan nyanyi penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah Timur pada pinggirku
Diliputi langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di papsir
Di sanalah jiwaku, mula bertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi barissan sebuah pesisir

Di sanalah hendaknya, aku berkubur Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda yang terkenal itu. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatera saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara. Kebesaran sejarah berbagai kerajaan dan suku bangsa di Nusantara seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Pasai terlukis dalam sajak-sajaknya. Dalam salah satu sajaknya, ia mengatakan demikian: ‘….. kita sedarah sebangsa/Bertanah air di Indonesia’.
Keagungan dan keluhuran masa silam bangsanya menimbulkan pula kesadaran pada diri Yamin bahwa:
Buat kami anak sekarang
Sejarah demikian tanda nan terang
Kami berpoyong asal nan gadang
Bertenaga tinggi petang dan pagi
Di atas terbaca warna nasionalisme dalam sajak-sajak Muhammad Yamin. Warna nasionalisme dalam kepenyairan Yamin agaknya tidak dapat dipisahkan dari peranan Yamin sebagai pejuang dalam masa-masa mencapai kemerdekaank. Di samping itu, adanya Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda itu juga memegang peranan yang amat penting. Dengan adanya sumpah pemuda itu kesadaran nasional semakin meningkat dan organisasi-organisasi pemuda yang semula bersifat kedaerahan mulai mengubah dirinya ke arah nasionalistis. Hal ini dapat dikatakan berpengaruh pada pandangan Yamin sebagai penyair dan peranannya yang ingin disumbangkannya untuk kejayaan bangsa dan negaranya. Sebagai pemuda yang mencita-citakan kejayaan masa depan bangsanya, ia tetap mengenang kegemilangan masa silam bangsanya:
Tiap gelombang di lautan berdesir
Sampai ke pantai tanah pesisir
Setiap butir berbisik di pasir
Semua itu terdengar bagiku
Menceriterakan hikayat zaman yang lalu
Peninggalan bangsaku segenap waktu
Berkat cahaya pelita poyangku
Penggalan sajak berikut ini juga memperlihatkan adanya kesadaran untuk memelihara hasi-hasil yang pernah dicapai oleh para pendahulu bangsa dan menjadikannya sebagai modal untuk meraih kegemilangan masa depan:
Adapun kami anak sekarang
Mari berjejrih berbanting tulang
Menjaga kemegahan jangalah hilang,
Supaya lepas ke padang yang bebas
Sebagai poyangku masa dahulu,
Karena bangsaku dalam hatiku
Turunan Indonesia darah Melayu
Patriotisme Yamin yang juga mengilhami untuk menumbuhkan kecintaan pada bangsa dan sastra. Yamin melihat adanya hubungan langsung antara patriotisme yang diwujudkan lewat kecintaan pada bahasa dan pengembangan sastra Indonesia. Sebagai penyair yang kecintaannya pada bahasa nasionalnya berkobar-kobar, ia cenderung mengekspresikan rasa estetisnya dalam bahasa nasionalnya dengan harapan kesusastraan baru akan tumbuh lebih pesat. Hal ini tampak dalam baik berikut ini:
Apabila perasaan baru sudah mendirikan pustaka
baru dalam bahasa tumpah daerah kita, maka
lahirlah zaman yang mulia, sebagai pertandaan
peradaban baru, yaitu peradaban Indonesia-Raya
Di Jakarta, dalam usia 59 tahun—yaitu pada tanggal 17 Oktober 1962 – Muhammad Yamin tutup usia. Walaupun pada masa dewasanya ia praktis meninggalkan lapangan sastra dan lebih banyak berkecimpung dalam lapangan politik dan kenegaraan ia telah meninggalkan karya-karya yang berarti dalam perkembangan sastra Indonesia. Di samping menulis sajak, misalnya Ken Arok dan Ken Dedes (1943) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932?). Yamin memang banyak menaruh minat pada sejarah, terutama sejarah nasional. Baginyta sejarah adalah salah satu cara dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris, ia pun menulis Gadjah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia banyak pula menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain karya sastrawan Inggris William Shakespeare (1564--1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861--1941) berjudul Menantikan Surat dari Raja dan Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga.
Hasil Karya
Puisi
(1) Indonesia, Tumpah Darahku, Jakarta: Balai Pustaka, 1928. (kumpulan)
Drama
(1) Ken Arok dan Ken Dedes, Jakarta: Balai Pustaka, 1934
(2) Kalau Dewa Tara Sudah Berkata. Jakarta: Balai Pustaka, 1932
Terjemahan
(1) Julius Caesar karya Shakespeare, 1952
(2) Menantikan Surat dari Raja karya R. Tangore, 1928
(3) Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga karya R. Tigore, t.th
(4) Tan Malaka. Jakarta: Balai Pustaka,1945
Sejarah
(1) Gadjah Mada, Jakarta: 1945
(2) Sejarah Pangerah Dipenogoro, Jakarta: 1945

BIOGRAFI KH. A. MUSTOFA BISRI

Sumber:

KH. A. Mustofa Bisri, kini Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Leteh Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944. Belajar di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, dan Universitas Al-Azhar Kairo, disamping di pesantren ayahnya sendiri, Raudlatuth Tholibin Rembang.



Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karyanya yang telah diterbitkan, antara lain, Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H), Ensklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987), Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979), Kimiya-us Sa'aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung), Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994), Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993), Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994), Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995), Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996), Mahakiai Hasyim Asy'ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995), Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997), Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997). dan juga Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).
Karya-karya lain yang insya Allah akan terbit, adalah Fikih Keseharian II (Al-Miftah Surabaya). Sementara itu, dia produktif menulis di media massa ibukota dan media massa daerah.

BIOGRAFI EMHA AINUN NADJIB



Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi.


Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah," katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya.
Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjadi kolumnis.
Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.
Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.
Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.
Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Karya Seni Teater
Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.
Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)
Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).
Pluralisme
Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah..."
Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. "Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.
Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralisme?" katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.
"Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar," ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua," tutur budayawan intelektual itu.

BIOGRAFI CHAIRIL ANWAR


Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman.


Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).
Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.
Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).
Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).
Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969); The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953);
2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972);
3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974);
4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976);
5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);
6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976;
7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983);
8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984);
9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985);
10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987);
11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995);
12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).

BIOGRAFI ALI HASJMY

Nama aslinya Muhammad Ali Hasyim Alias Al Hariry, Asmara Hakiki dan Aria Hadiningsun. Anak kedua dari 8 orang bersaudara. Ayahnya, Teungku Hasyim, pensiunan pegawai negeri.

Tahun 1975 diangkat sebagai guru besar (Prof) dalam ilmu dakwah oleh IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Ali Hasjmy dikenal sebagai sastrawan, ulama, dan tokoh daerah. Dalam usaha memulihkan keamanan daerah, Pemerintah pernah mengangkatnya sebagai gubernur Aceh periode 1957-1964 dan Gubernur diperbantukan Menteri Dalam Negeri Jakarta periode 1964-1968.
Hasjmy gemar membaca dan mendengarkan musik. Sebagai sastrawan, ia telah menerbitkan 18 karya sastra, 5 terjemahan, dan 20 karya tulis lainnya. Beberapa karya sastranya, Kisah Seorang Pengembara (sajak, 1937); Dewan Sajak (sajak, 1938). Beberapa novel ciptaannya ; Bermandi Cahaya Bulan (1938). Cetak ulang oleh Bulan Bintang 1979), Dewi Fajar (1943), Nona Press Room (1963), Meurah Johan (1977), Tanah Merah (1977). Buku lainnya bersifat analisa sastra seperti Rubai Hamzah Fansury karya Sastra Sufi Abad XVII (Kuala Lumpur, 1976), Hikayat Perang Sabil Jiwanya Perang Aceh (1970), Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun (Jakarta, Bulan Bintang 1978). Sebuah naskah yang akan diterbitkan adalah Hikayat Pocut Muhammad dalam Analisa (sastra).
Karya tulis lainnya antara lain, Di Mana Letaknya Negara Islam (Singapura, 1976), Yahudi Bangsa Terkutuk (1970), Dustur Dakwah Menurut Al Quran (1973), Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta 1973), Iskandar Muda Meukuta Alam (Biografi, Jakarta, 1976), 59 (1977), Sejarah Perkembangan Hukum Islam (1970), Cinta Sepanjang Jalan (kumpulan cerpen, 1980).
Pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Aceh. Selain itu ia juga pernah memangku jabatan Rektor Institut Agama Islam Negeri Jamiah Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Hasjmy pernah ditahan dalam penjara Jalan Listrik, Medan, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Daud Beuereueh di Aceh. Penahanan berlangsung dari September 1953 sampai Mei 1954. Tapi tahanan ini istimewa. Antara lain boleh bawa makanan dari luar. Banyak orang tahanan dan petugas penjara beroleh kopi, rokok dari Hasjmy. Yang paling menyenangkan mendengar berita akan dibebaskan. Seorang hukuman, bernama Bedjo menceritakan mimpinya semalam bahwa Hasjmy akan dibebaskan. Kendati mimpi dianggap Hasjmy bohong, ia senang sekali. Sehingga Hasjmy dengan senang hati memberinya rokok, kopi dan bahkan uang.
Suatu pagi Pak Bedjo bercerita lagi, bahwa dalam mimpinya ia melihat Hasjmy menjadi Raja Aceh. Saya tak percaya, tapi senang, tulis Hasjmy. Sebulan kemudian, Hasjmy dikirim ke Jakarta atas permintaan Jaksa Agung. Di Jakarta dia dibebaskan dan dipindahkan ke Departemen Sosial. Januari 1957, ia diangkat menjadi Gubernur Aceh.
Nama :
Prof. H. Muhammad Ali Hasjmy
Lahir :
Lampaseh, Aceh, 28 Maret 1914
Pendidikan :
Vervolkschool di Montasie (1926),
Sanawiyah Thawalib di Padangpanjang (1935),
Al Jamiah Al Islamiyah di Padang (1941),
Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (1951-1953),
Kursus Jurnalistik
Profesi :
Wakil pemimpin Redaksi majalah Matahari Islam di Padang (1939-1940),
Pembantu tetap majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat,
Guru pada Perguruan Islam di Seulimeum (1941-1943),
Redaktur Aceh Simbun di Banda Aceh (1946-1950),
Wakil Kepala Jawatan Sosial Aceh (1951-1953),
Kepala Bagian Umum Jawatan Bimbingan Sosial di Jakarta (1954-1956),
Gubernur Provinsi Aceh (1957-1964),
Gubernur diperbantukan pada Menteri Dalam Negeri RI di Jakarta (1964-1968),
Pemimpin Harian Nusa Putera di Jakarta (1965-1966),
Pemimpin Umum/Penanggung jawab majalah Sinar Darussalam di Banda Aceh
Karya :
Kisah Seorang Pengembara (1937),
Dewan Sajak (1938),
Bermandi Cahaya Bulan (1938),
Dewi Fajar (1943),
Nona Press Room (1963),
Meurah Johan (1977),
Tanah Merah (1977)

(Apa&Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982)

BIOGRAFI AJIP ROSIDI

Pengarang, editor, Ketua Dewan Pendiri Yayasan Kebudayaan Rancagé, Ketua Pendiri Yayasan Pusat Studi Sunda.


Pernah bekerja sebagai pengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku (1981-2003), di samping mengajar juga di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daigaku (1982-1995), Jepang. Memprakarsai pelembagaan Hadiah Sastra Rancagé sejak 1989, dan memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) 2001 di Bandung. Menulis sejak remaja, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Buku-buku karyanya, lebih dari seratus judul, antara lain berupa roman, koleksi puisi, koleksi cerita pendek, memoar, dan biografi.

BIOGRAFI AHMADUN YOSI HERFANDA

Ahmadun Yosi Herfanda lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002).


Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S Mahayana, ia mendirikan Creative Writing Institute (CWI). Selain itu, sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Sehari-hari kini ia redaktur sastra Harian Umum Republika.
Selain puisi, ia juga menulis cerpen dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur'an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).
Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Agustus 2003 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Ia juga sering diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai diskusi dan seminar sastra nasional maupun internasional.
Buku-bukunya yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005). Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006), Koridor yang Terbelah (kumpulan esei sastra, Jakarta Publishing House, 2006).

BIOGRAFI ACEP ZAMZAM NOOR

Acep Zamzam Noor (lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960) adalah sastrawan Indonesia. Ia menghabiskan masa kecil dan remajanya di lingkungan pesantren, melanjutkan pendidikan pada Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, lalu Universitá Italiana per Stranieri, Perugia, Italia. Kini, tinggal di Desa Cipasung, Tasikmalaya.



Acep menerima South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005).
Karya
Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982)
Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)
Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)
Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)
Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)
Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)
Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004)

BIOGRAFI ABDUL HADI WIDJI MUTHARI

”Saya lebih senang disebut sebagai penyair saja,” ucap Abdul Hadi Widji Muthari. Selebihnya, seperti jabatan redaktur kebudayaan harian Berita Buana, dan anggota Dewan Pimpinan Harian Dewan Kesenian Jakarta, dapatlah dianggap sebagai tambahan.
Puisi adalah getar nadinya. ”Saya menyukai puisi sejak saya jatuh cinta,” kata Hadi. Yakni ketika di SMP. Kemudian, ia merasa dimatangkan oleh karya-karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, serta dorongan orangtua, kawan, dan guru.



Sebagaimana anak Madura lainnya, Hadi adalah ”Anak Laut, Anak Angin”, seperti bunyi judul kumpulan puisinya. Padahal, darah Maduranya hanya sebagian. Selebihnya Cina dan Jawa. Namun, bakat seni memang mengalir deras dalam dirinya, mewarisi keluarga yang suka karya sastra, ayah yang gemar melukis, dan kakek yang senang bersenandung Mocopatan, dan membaca sastra Jawa.
Masa kecilnya sudah dijejali dengan bacaan berat. Semula bercita-cita menjadi pemikir. Artinya, ”Yah, semacam filosof yang menerbitkan ide-ide baru.” Plato, Socrates, Imam Ghazali, R. Tagore, dan Iqbal, dikenalnya betul, paling tidak demikianlah perasaannya. Dan untuk memenuhi keinginan batinnya, ia meninggalkan Fakultas Sastra, dan pindah ke Fakultas Filsafat.
Sekitar 1970-an, nama Abdul Hadi mencuat. Para pengamat menilai Hadi sebagai pencipta puisi yang bersuasana hati. Hadi memang menulis tentang kesepian, kematian, dan waktu. Makin lama, warna mistis Islamnya makin menonjol, dan kadang malah menyatu dengan mistis Jawa. Kumpulan puisi Meditasi yang memenangkan hadiah buku puisi DKJ terbaik 1978, dan buku Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh, mewakili kecenderungan religiusnya.
Orang sering membandingkan Abdul Hadi dengan Taufiq Ismail, yang juga berpuisi religius. Hadi membantahnya. ”Dengan tulisan, saya mengajak orang lain untuk mengalami pengalaman religius yang saya rasakan. Sedang Taufiq hanya menekankan sifat moralistisnya,” katanya.
Hingga kini sudah enam kumpulan puisi yang diterbitkannya. Empat buku lainnya bukan puisi. Dengan istrinya, Tedjawati, yang menjadi pelukis, Hadi sering terlibat diskusi soal seni. Ia juga menyukai karya Bach, Beethoven, dan The Beatles.
Abdul Hadi WM menerima tawaran dari University Sains Malaysia yang memberinya
kesempatan menjadi “ahli cipta” di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, University Sains Malaysia, pada 1992. Posisinya sebagai “ahli cipta” di perguruan tinggi yang berlokasi di Penang, Malaysia itu membuka peluang mengikuti program doktoral di perguruan tinggi itu dalam bidang sastra. Ia menyusun tesis Estetika Puisi Hamzah Fanzuri (Kajian tentang Hamzah Fanzuri).
Terakhir, ia menjadi menjadi dosen pada Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina.
Nama :
ABDUL HADI WIDJI MUTHARI (Abdul Hadi W.M.)
Tempat Tanggal Lahir :
Sumenep, Jawa Timur, 24 Juni 1946
Pendidikan :
- SD, Pesongsongan (1958)
- SMP, Sumenep (1961)
- SMA, Surabaya (1964)
- Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta (1964-1967)
- Fakultas Filsafat UGM (tingkat doktoral, 1971)
Karyanya (kumpulan puisi maupun cerita) antara lain:
- Laut Belum Pasang, Litera, 1971
- Potret Panjang Pengunjung Pantai Sanur, Pustaka Jaya, 1975
- Meditasi, Budaya Jaya, 1976 (mendapat hadiah Buku Puisi Terbaik DKJ)
- Anak Laut Anak Angin, Harapan, 1983
- Modin Karok, (Cerita Rakyat Madura), Balai Pustaka, 1983
- Keluarga Tikus (cerita anak-anak), Balai Pustaka, 1984
Kegiatan Lain :
- Redaktur Gema Mahasiswa UGM (1967-1968)
- Redaktur Mahasiswa Indonesia Edisi Ja-Teng (1969-1970)
- Redaktur Mahasiswa Indonesia Edisi Ja-Bar (1971-1974)
- Redaktur Pelaksana Budaya Jaya (1977-1978)
- Redaktur majalah Kadin (1979-1981)
- Redaktur Balai Pustaka (1981-1983)
- Redaktur Budaya Berita Buana (sejak 1979)
- Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983)
- Dosen Universitas Paramadina (sekarang)

MEMAHAMI BIDAH

Secara umum, bid’ah berarti “ segala sesuatu yang diada-adakan dalam bentuk yang tidak ada contohnya”.

Dilihat secara segi dari usul fikih, bid’ah dapat dibedakan atas dua jenis. Yaitu sbb:


(1). Pertama, Bid’ah meliputi segala sesuatu yang diada-adakan dalam soal ibadah saja. Bid’ah dalam pengertian ini adalah urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, yang dipandang menyamai syariat itu sendiri, dan mengerjakannya secara berlebih-lebihan dalam soal ibadah kepada Allah .

(2). Kedua, Bid’ah meliputi segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam agama, baik yang berkaitan dengan urusan ibadah maupun urusan adat. Perbuatan itu seakan-akan urusan agama, yang dipandang menyamai syariat sendiri, sehingga mengerjakanya sama dengan mengerjakan agama itu sendiri.

Dari segi fikih, bid’ah juga dapat dibedakan jadi dua jenis yaitu ;

(1). Pertama, bid’ah adalah perbuatan tercela yang diada-adakan serta bertentangan dengan Al Qur’an, sunah Rosulullah SAW, atau dengan ijmak. Inilah bid’ah yang sama sekali tidak diizinkan oleh agama, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik secara tegas maupun secara isyarat saja. Urusan-urusan keduniaan tidak termasuk ke dalam pengertian ini.

(2). Kedua, Bid’ah meliputi segala yang diada-adakan sesudah Nabi SAW, baik berupa kebaikan maupun kejahatan, baik mengenai ibadah maupun mengenai adat, yaitu yang berkaitan dengan urusan keduniaan.



Dilihat secara umum sebenarnya bid’ah ini ada dua macam yaitu:

(1). Bid’ah hasanah ( yang baik). Dan bid’ah ini dibagi yaitu ;

(a). Bid’ah wajibah ( yang wajib ) yaitu pekerjaan yang masuk dalam kaidah-kaidah wajib , dan masuk dalam kehendak dalil agama. Misalnya, mengumpulkan dan membukukan Al Qur’an dalam satu mushaf ( lembaran naskah Al qur’an yang bertuliskan tangan ) Demikian juga membukukan ilmu, mempelajarinya dengan jalan memahami Al Qur’an, dan menetapkan kaidah-kaidah yang digunakan sebagai alat untuk menggali hukum dari dalilnya. Hal ini dianggap bid’ah karena tidak ada dalm praktek pada masa Rosulullah SAW.

(b) Bid’ah mandubah ( yang sunah atau yang disukai Allah SWT ). Yaitu pekerjaan yang diwujudkan oleh kaidah – kaidah nabd ( sunat ) dan dalil- dalilnya. Misalnya mengerjakan tarawih berjamaah tiap malam bulan puasa, dan dipimpin oleh seorang imam tertentu. Perbuatan ini tidak pernah terjadi pada masa Nabi Muhamad SAW, Abu Bakar RA, dan permulaan masa Umar RA. Setelah melihat jemaah masjid shalat sendiri-sendiri, atau berkelompok, maka Umar RA menyuruh seseorang untuk mengimami shalat tarawih tersebut.

( c ) Bid’ah mubahah. Adalah pekerjaan yang diterima oleh dalil misalnya makan diatas meja ataumenggunakan pengeras suara untuk azan.





(2). Bid’ah qabihah atau sayyi’ah ( yang jelek ) dan Bid’ah ini dibagi menjadi dua yaitu:

1.

Bid’ah makruhah ( yang makruh atau yang tidak disenangi Allah ) adalah pekerjaan yang masuk dalam kaidah dalil makruh. Misalnya menentukan hari utama dengan suatu macam ibadah , menambah nambah amalan sunat yang telah ada batasnya.
2.

Bid’ah muharamah ( yang diharamkan ). Adalah pekerjaan yang masuk kedalam kaidah dan dalil haram. Misalnya, perbuatan-perbuatan yang masuk kedalam kaidah haram, adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang agama, seperti mengangkat orang yang tidak ahli untuk mengendalikan urusan-urusan penting atas dasar keturunan dengan mengabaikan keahlian.





Berkaitan dengan bid’ah ini Rosulullah SAW pernah memperingatkan bahwa “ Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan ( urusan agama) tanpa ada dasar dariku (Nabi ) maka amalan itu sia-sia ( di tolak ) “. Peringatan itu terkandung dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim ditegaskan bahwa “ setiap bid’ah itu dianggap sesat, dan setiap yang sesat itu nerakalah yang pantas bagi pelakunya “. Menurut Imam Nawawi, yang dimaksud dengan kata-kata “Setiap bid’ah itu sesat” adalah pekerjaan yang tergolong kedalam bid’ah sayyiah, yaitu bid’ah muharramah, dan bid’ah makruhah. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan sesuai dengan tuntunan agama Islam disebut al “al ’Amal as Sunni. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang pelaksanaanya tidak menurut agama disebut al ‘Amal al Bid’i.