Menu

Friday 20 February 2009

10 Resep Sukses Bangsa Jepang

Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak terkena bom atom sekutu (Amerika), Jepang pelan tapi pasti berhasil
bangkit. Mau tidak mau harus diakui saat ini Jepang bersama China dan Korea Selatan sudah menjelma menjadi macan
Asia dalam bidang teknologi dan ekonomi. Alhamdulillah saya mendapat kesempatan 10 tahun tinggal di Jepang untuk
menempuh studi saya.

Dalam artikel sebelumnya saya mencoba memotret Jepang dari satu sisi. Kali ini, saya mencoba
merumuskan 10 resep yang membuat bangsa Jepang bisa sukses seperti sekarang. Tentu rumusan ini di beberapa sisi
agak subyektif, hanya dari pengalaman hidup, studi, bisnis dan bergaul dengan orang Jepang di sekitar perfecture
Saitama, Tokyo, Chiba, Yokohama. Intinya kita mencoba belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil untuk
membangun republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa Jepang selalu baik, tentu jawabannya tidak. Banyak
juga budaya negatif yang tidak harus kita contoh

1. KERJA KERAS Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja
pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911
jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan
sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai
sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang.
Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa
pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa
pulang malam (tepatnya pagi ), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena Karoshi (mati karena kerja
keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah
sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

2. MALU Malu adalah budaya leluhur dan turun
temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu
ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena
“mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa
gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena
nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada
mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara otomatis
langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion
untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi
menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang
sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian.
Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di
Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam
19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong
harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di
Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko
sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki
mobil, bukan karena tidak mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian. Termasuk
saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas ruangan menggunakan minyak tanah yang merepotkan masih digandrungi,
padahal sudah cukup dengan AC yang ada mode dingin dan panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih murah
daripada listrik. Professor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bareng dengan mahasiswa-mahasiswanya.

4. LOYALITAS Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda
dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya
bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan
hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core
business) perusahaan. Kota Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu dulunya adalah kota industri yang sangat
tertinggal dengan penduduk yang terlalu padat. Loyalitas penduduk untuk tetap bertahan (tidak pergi ke luar kota) dan
punya komitmen bersama untuk bekerja keras siang dan malam akhirnya mengubah Hofu menjadi kota makmur dan
modern. Bahkan saat ini kota industri terbaik dengan produksi kendaraan mencapai 160.000 per tahun.

5. INOVASI
Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian
memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang
mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh
perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah
produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun
1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan
kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang
dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang
dihasilkan juga relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah dirawat dan lebih hemat bahan bakar. Perusahaan
Matsushita Electric yang dulu terkenal dengan sebutan “maneshita” (peniru) punya legenda sendiri dengan
mesin pembuat rotinya. Inovasi dan ide dari seorang engineernya bernama Ikuko Tanaka yang berinisiatif untuk meniru
teknik pembuatan roti dari sheef di Osaka International Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti (home bakery)
bermerk Matsushita yang terkenal itu.

6. PANTANG MENYERAH
Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa
yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses
ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat
beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak
hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari
negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah
Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki,
disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Ternyata Jepang
tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga
kereta cepat (shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur
dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk
membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan
orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda
dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini
mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh
tentang ini

7. BUDAYA BACA Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik),
sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk
atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat manga
(komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi,
Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas
masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses
penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku buku
asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai
jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya
diterbitkan. Saya biasa membeli buku literatur terjemahan bahasa Jepang karena harganya lebih murah daripada buku
asli (bahasa inggris).

8. KERJASAMA KELOMPOK Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang
terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut.
Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas
mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang
Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya
10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok”.
Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan
strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.

9. MANDIRI Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri.
Irsyad, anak saya yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar
berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman
yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung
jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta
biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk
biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua
yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak
membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak
bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari
anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta
maaf duluan. Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat
tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena ”hai” belum
tentu “ya” bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan
keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk
melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang
signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang
merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Mungkin seperti itu 10 resep sukses yang bisa saya rangkumkan. Bangsa
Indonesia punya hampir semua resep orang Jepang diatas, hanya mungkin kita belum mengasahnya dengan baik. Di
Jepang mahasiswa Indonesia termasuk yang unggul dan bahkan mengalahkan mahasiswa Jepang. Orang Indonesia
juga memenangkan berbagai award berlevel internasional. Saya yakin ada faktor “non-teknis” yang
membuat Indonesia agak terpuruk dalam teknologi dan ekonomi. Mari kita bersama mencari solusi untuk berbagai
permasalahan republik ini. Dan terakhir kita harus tetap mau belajar dan menerima kebaikan dari siapapun juga. Tetap
dalam perdjoeangan ! sumber: http://romisatriawahono.net/2007/06/13/10-resep-sukses-bangsa-jepang/#more-399

0 comments: